Krik! krik!
krik!
Suara jangkrik?
Bukan! Itu bukan
suara jangkrik! Tapi itu suasana kelas ku saat ini setelah pak gege selesai
menulis beberapa soal ekonomi di papan tulis. Ini sudah ketiga kalinya beliau
masuk ke kelas ku untuk menggantikan pak harun yang sedang cuti mengajar ekonomi
karena istrinya dirawat dirumah sakit. Sebenarnya pak gege (nama aslinya sih
gemilang purnama, tapi entah kenapa ketika pidato perkenalannya sebagai kepala
sekolah baru disini, beliau bilang kalau ia lebih suka dipanggil gege) adalah
kepala sekolah di sini, tapi beliau juga merangkap sebagai guru ekonomi ketika
dibutuhkan.
Oke kembali ke
topik cerita. Kenapa kelas ku bisa se-krik ini? Karena, setelah menulis soal
biasanya pak gege akan memanggil nama beberapa murid untuk mengerjakan soal-soal
tersebut. Mata elang pak gege mulai memandangi satu per satu wajah-wajah gugup
di depannya, mencari mangsa. Sekilas kulihat ujung bibir sebelah kirinya
terangkat sedikit ketika sepasang mata yang berada dibalik kacamata besarnya
itu beradu pandang dengan mataku. Ouh sial! Aku agak takut dengan pandangannya
yang seperti itu. Kenapa? Karena sejak hari pertama ia mengajar, aku selalu
menjadi korban. Nama ku selalu saja dipangil pertama kali untuk mengerjakan
salah satu soal di papan tulis. Entah apa salah ku padanya hingga aku sering
sekali terkena omelannya. Jujur aku memang tidak bisa mengerjakan semua soal
yang ia berikan pada ku, dan hasilnya… ujung jari ku selalu menjadi sasaran
empuk penggaris kayu 100 cm miliknya.
Pak gege mulai
menarik napas. Dan aku pasrah. Pasrah sepasrah pasrahnya!
“Brian Saputra,
kerjakan nomor satu!” suara pak gege memecah keheningan.
Uh..eh?!?!?! Tadi dia bilang apa?!?! Brian Saputra?
Loh? Bukan nama ku?! Akhirnya… setelah sekian lama, nama ku tidak di panggil.
Yes yes yes!!
Mendadak aku senyum senyum sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama, setelah ku
lihat pak gege menarik napas lagi, senyum diwajah ku langsung hilang. Harusnya
aku tidak boleh puas begitu saja. Bisa saja kan nama ku dipanggil setelah ini?
Aaahhh… membayangkan itu saja sudah telak membuat ku tidak bisa duduk santai.
“Rizka Soleha,
kerjakan nomor dua!” suara pak gege memecah keheningan lagi.
Eh… eh… tuh kan? Itu kan bukan nama ku! Ah! Mudah
mudahan nama ku hari ini tidak di panggil!! Amin!!
“Untuk soal
nomor tiga…”
Bukan aku… bukan aku… bukan aku…
Mata pak gege
melirik se-isi kelas. Ku lihat wajah teman-teman ku pun tak kalah tegangnya
dengan ku. Pak gege tersenyum licik ke arah ku.
Eih? Apaan tuh maksudnya? Perasaan ku jadi ga enak
gini.
“Muhammad
Pathuroji, kerjakan soal nomor tiga!”
Aahh… sial! Aku terlalu cepat senang nih kayaknya!
Suara pak gege kali
ini disambut dengan wajah lega teman-teman ku yang lain. Terdengar beberapa
suara yang menahan tawa ketika nama ku di sebut.
“Oji lagi… oji
lagi… ckckck” kata Donny teman sebangku ku. Aku hanya bisa memandang tajam ke
arahnya. Baru saja ingin ku jawab celetukan Donny, tapi pak gege keburu memanggil kami.
“ayo kalian
bertiga cepat maju dan kerjakan. Saya tidak bisa lama-lama.”
“emang bapak mau
kemana?” Tanya sisil. Cewek paling centil dikelas.
“saya dan
guru-guru mau rapat soal study tour kalian bulan depan. Ayo buruan kerjakan!”
beberapa teman ku mulai kasak kusuk membicarakan study tour ketika aku berjalan
kearah papan tulis.
Kami bertiga
mulai mengerjakan soal. Beberapa menit kemudian rizka, cewek paling pintar
dikelas, selesai mengerjakan dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Tinggal
aku dan brian. Kulihat brian juga mulai kewalahan menghitung, dan sepertinya
dia mulai pasrah. Aku sih memang sudah pasrah dari awal. Habisnya aku bingung.
Aku benar-benar tidak mengerti pelajaran yang satu ini. Pak gege memegang
amunisinya (penggaris kayu 100 cm nya itu loh). Sudah 15 menit kami di depan
papan tulis, tapi hanya menulis diketahui saja. Aku benar-benar tidak tahu
harus menulis apalagi.
“Brian! Oji!
Kenapa berhenti?”
“Saya ga bisa
ngerjain pa” kata brian dengan wajah tertunduk.
“Kamu oji!
Kenapa tidak dilanjutkan menjawabnya?”
Belum sempat aku
menjawab pertanyaan pak gege, pintu kelas diketuk dan masuklah bu Eni, guru
TIK.
“pak, sudah
ditunggu guru-guru yang lain, rapatnya sudah mau dimulai.” Kata bu eni.
Terlihat kekecewaan diwajah pak gege, seperti anak kecil yang kehilangan
mainannya.
“Oke,
terimakasih. Lima menit lagi saya kesana. Kamu duluan saja.”
“Baik pak,
permisi.” Kata bu Eni, disambut dengan anggukan kepala pak gege.
“ulurkan tangan
kalian. Ujung jari menghadap ke atas!”
Ah! Tadinya ku
pikir ia akan segera menyelesaikan jam mengajarnya tanpa hukuman maut itu. Tapi
nyatanya tidak. Kedua tangan ku dan brian menjulur, mengikuti intruksi pak
gege. Dan…
PLETAK!!!
PLETAK!!!
Penggaris buluk
itu mendarat mulus di ujung jari-jari tangan ku dan brian. Aku hanya bisa
meringis menahan sakit. Sedangkan brian mengaduh aduh kesakitan.
“baik anak-anak.
pelajaran saya selesai kan sampai sini dulu. Selamat siang!”
“siang pak!”
satu kelas serentak menjawab. Kecuali aku.
Pak gege
berjalan keluar.
“sebentar pak.
saya mau nanya.” Kata ku lantang. Pak gege membalikkan badan.
“ada apa oji? Jangan
lama-lama.”
“kenape sih saya
kena hukuman mulu tiap bapak ngajar? Saya salah ape sih pak?” Entah setan apa
yang merasuki diriku sampai aku berani mengeluarkan pertanyaan seperti itu.
Se-isi kelas diam membisu. Sekilas kulihat senyum tipis diwajah pak gege.
“karena kamu
belum bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar!” suara
pak gege lantang, beliau berlalu pergi meninggalkan aku yang hanya bisa melongo
mendengar jawabannya. Kepergian pak gege disambut ledakan tawa teman-teman sekelasku.
Aku memang
sering dihukum guru bahasa Indonesia karena tidak menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar ketika pelajaran sedang berlangsung. Tapi aku benar-benar
tidak menyangka kalau alasan pak gege
menghukumku sama dengan alasan bu Diah menghukumku. Ya. Aku memang agak sulit
berbaur dengan lingkungan sekolah karena gaya bicara ku yang kental dengan
logat betawi asli. Dari kecil, kedua orang tua ku tidak pernah berbicara
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sepeti yang sering dikatakan
bu diah. Aku juga sering menjadi bulan-bulanan teman-teman karena nama ku yang
juga benar-benar betawi asli ‘Muhammad Pathuroji’. Kalau orang tua lain mungkin
akan memberi nama ‘Fathurodzi’, berhubung orang tua ku asli betawi, mereka
masih mengikuti budaya para leluhur. Sebenarnya aku juga agak sungkan berbicara
dengan logat betawi ketika berada dilingkungan sekolah, atau sedang berbicara
dengan orang lain yang bukan keluarga, seperti teman, guru, atau pacar. Padahal
aku sudah kelas dua SMA, tapi entah kenapa sulit sekali rasanya jika ingin
berbicara normal seperti
teman-temanku yang lain, karena aksen betawi terdengar agak kasar dan kurang
sopan jika digunakan dilingkungan pendidikan.
Dan hari ini
pun, ku lalui dengan ledekan teman-teman yang membuat kepala ku tambah sakit.
Setelah bel pulang berbunyi, buru-buru aku keluar kelas menuju parkiran dan
menunggu seseorang yang sudah dua minggu terakhir ini menyandang status sebagai
pacar ku. Ku keluarkan handphone dan mengirim sebuah sms.
To:
Lina
Gue didepan na.
5 menit aku
menunggu didepan sekolah, seorang gadis cantik berjalan ke arah ku. Ya. Itu
Sumarlina, biasa dipanggil Lina, gadis yang tadi ku sebut pacarku. Buru-buru ku
bantu dia membawa beberapa kantong jualannya. Lina tersenyum. Sebenarnya
keluarganya termasuk golongan orang mampu. Waktu ku tanya kenapa ia jualan
dikantin, ia bilang bahwa ia hanya membantu mamanya yang iseng-iseng membuat
beberapa macam kue untuk dijual karena mamanya bingung tidak tahu harus
melakukan apa ketika ia sendirian dirumah.
Saat perjalanan
menuju rumah Lina, kami tidak banyak bicara. Tapi lama-kelamaan aku bosan juga
dengan suasana sepi seperti ini.
“Lu kenape sih lin
diem aje?”
“nggak apa apa
kok ji. Aku cuma lagi pusing aja.” Sahut lina dengan suara lembut serta logat
khas kota solonya.
“lu sakit Lin? Udeh
minum obat belon?”
“udah kok. Oh
iya, kamu gimana hari ini dikelas? Pak gege masuk kelas mu kan hari ini?”
“iye lin. Sumpeh
deh, gue bingung ama ntu guru. Demen banget nyiksa gue.”
“kamu dihukum
lagi?”
“iye, padahal
tadi si gege udeh di samperin ama bu eni mau di ajak rapat, eh sempet-sempetnye
ngehukum gue lin. Ampun dah!” kata ku sambil menepuk kening dengan tangan kiri
ku.
“hahahaha. Sabar
ya ji.” Lina tertawa. Kurasakan perasaan lega sekaligus senang kalau aku bisa
membuat lina tertawa seperti ini.
“lu sendiri
gimane dikelas?”
“tadi di kelas
aku juga di ledekin terus sama anak-anak. Gara-gara pas baca puisi tadi logat
solo ku medok banget. Tapi engga apa apa lah , aku udah biasa. Oh iya, gimana,
kamu ikut ngga study tour minggu lusa?”
Banyak yang
bilang kami pasangan yang cocok. Lina dikenal sebagai cewek paling lembut
bicaranya, sedangkan aku dikenal sebagai cowok paling kasar bicaranya. Kebanyakan
dari mereka berpikir bahwa, jika aku berpacaran dengan Lina, aku akan tertular
lembutnya cara bicara Lina. Dan itu juga yang kupikirkan sebelum aku bertekad
untuk memacari Lina. Aku pikir Lina bisa membantuku dalam berbicara, dan aku
jatuh cinta sungguhan dengannya. Aku disadarkan Lina tentang acara penting yang
sempat ku lupakan. STUDY TOUR!
“ye ikut lah.
Yekali gue kaga ikut lin. Lu ikut kan?”
“iya aku ikut.”
“sip!” kataku
sambil mengacungkan jempol tangan kiri ku. Beberapa menit setelah perbincangan,
kami sampai di depan gang rumah Lina. Dan seperti biasa, Lina minta diturunkan
disana.
“makasih ji.
Hati-hati ya.”
“iye. Lu juga.”
Ku lambaikan tangan, dan memacu motor menuju rumah.
Jangan berpikir
bahwa aku adalah seorang pria tega yang pengecut karena tidak mengantar Lina
sampai depan rumahnya. Waktu hari kedua kami pacaran, aku sengaja main kerumah
Lina, dengan niat memperkenalkan diri sebagai pacarnya. Awalnya mama Lina
senang aku datang, karena Lina tidak pernah mengajak teman sekolahnya ke rumah,
apalagi seorang laki-laki. Tapi setelah mendengar logat bicara ku dan ku katakana
kalau aku orang betawi asli, raut wajahnya berubah 180 derajat. Dihari itulah
hubungan kami tidak direstui, dan aku dilarang mendekati Lina. Sejak saat itu
Lina tidak mau jika aku mengantarnya sampai depan rumahnya, dia takut kalau
mamanya akan marah pada kami berdua.
Hari-hari
berlalu seperti biasa. Penuh dengan ejekan. Dua hari lagi study tour, aku harus
bergegas membereskan barang bawaan ku. Setelah bel pulang sekolah aku langsung
mengantar lina dan pulang kerumah.
Sebelum
berangkat, kami semua dikumpulkan dilapangan untuk dibagi perkelompok dan bis.
Hal yang paling membuat aku bahagia hari ini adalah, aku satu kelompok dengan
Lina! Aahh.. senangnya hati ku. Itu
berarti banyak waktu yang akan aku habiskan bersama Lina hehehe...
Aku dan lina
sepakat duduk di bangku yang bersebelahan. Lina memilih lokasi bangku
ditengah-tengah bis, dan aku mengiyakan. Sepanjang perjalanan kami bersenda
gurau dan tidur. Tujuan pertama kami adalah mengunjungi kampung naga. Kampung
naga adalah sebuah pemukiman yang jauh dari hiruk pikuk kota modern. Kampung
ini benar-benar sangat menjaga nilai leluhur, sampai tidak mau bersentuhan
dengan zaman modern. Bayangkan saja, ketika orang-orang berlomba-lomba menjadi
orang paling gaul, orang-orang di kampung ini sama sekali tidak punya pikiran
seperti itu.
Kami diberi
tugas untuk mengamati sosiologi yang berlangsung di kampung naga ini. Aku agak
sulit berinteraksi dengan orang-orang kampung naga. Beberapa warga malah menganggap
aku berbicara tidak sopan, hingga beberapa kali aku terkena teguran pak nur,
guru sosiologi ku. Beberapa kali juga Lina memperingatkan aku untuk tidak
banyak bicara. Tapi untuk teman-teman yang lain, itu merupakan suatu hiburan
tersendiri bagi mereka.
Awalnya aku
mengikuti saran Lina, tidak banyak bicara. Tapi lama kelamaan mulut ini terasa
gatal sekali ingin bicara. Memang dasarnya aku saja yang tidak bisa diam, saat
kulihat seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun sedang memungut daun
jati, hati ku tergerak ingin bertanya padanya.
“halo adek.
Siape namanye?” tanya ku dengan suara yang menurutku biasa saja. Menuruku. Anak
itu diam dan menatap ku. Bukannya menjawab pertanyaan ku, dia malah menangis
dan masuk kedalam rumah panggung yang ada dibelakangnya. Sontak teman-temanku
tertawa melihat kejadian itu. Kulihat Lina hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tidak lama setelah itu, anak itu keluar dari rumah panggung itu
bersama dengan seorang lelaki tinggi besar bekulit gelap. Sambil sesengukan
anak itu menunjuk kearah ku. Kemudian lelaki itu menghampiriku dengan mata
besarnya yang melotot. Melihat gelagat yang tidak enak dari lelaki itu, pak nur
langsung menghampiriku.
“orang itu pasti
bapaknya si bocah yang kamu bikin nangis. Bentar lagi dia pasti marahin kamu.
Kamu diam aja ya nanti.” Bisik pak nur ditelinga ku. Seperti dihantam petir.
Aku hanya bisa mendelik kaget.
Dan benar saja,
saat lelaki itu tiba dihadapanku dan pak nur, ia mengucapkan kata-kata dengan
nada tinggi, tapi aku tidak mengerti maksudnya apa. Dari sorot matanya,
sepertinya ucapan-ucapannya itu ditujukan untukku. Aku hanya bisa melongo
mendengar lelaki itu berbicara. Pak nur yang mungkin mengerti apa maksud dari
perkataan lelaki itu, langsung menenangkannya. Dan tak lama, pak nur pun berbicara
menggunakan bahasa yang tak kalah anehnya dengan yang keluar dari mulut lelaki
itu.
Beberapa saat
kemudian, raut wajah si lelaki itu sudah tidak menunjukkan kemarahan lagi.
Setelah itu, pak nur dan lelaki itu berjabat tangan, dan kemudian lelaki itu
masuk lagi kerumah panggung itu dengan meggendong anak laki-laki yang tadi
menangis karena ku. Pak nur berbalik menatap ku, kemudian meyentil telinga
sebelah kiri ku. Aku hanya bisa meringis dan mengusap-usap telingaku yang
terasa panas akibat sentilan pak nur.
Pak nur kembali
memimpin barisan, berjalan kedepan. Lina menghampiriku.
“kamu sih, ku
bilangin ngga percaya. Disuruh diem aja malah nekad. Sakit ga?” lina memarahi
ku sambil mengelus telinga ku yang disentil pak nur.
“kalo lu
pegangin terus kayak begono kuping gue sih jadi kaga sakit lin hehehe” kataku
menggoda lina. Bukannya melepas elusan tangannya ditelingaku, lina malah
menjewernya dan sukses membuat ku mengaduh kesakitan.
“aduh lin! ampun
lin! Sakit sumpeh! Lu ngapa jewer kuping gue dah?!” kataku sambil berusaha
melepas jeweran lina dari telingaku.
“hihi… kamu tuh
godain aku terus sih soalnya” lina melepaskan jewerannya dan aku hanya bisa
meringis dan mengelus-elus telingaku yang hari ini sudah terkena musibah dua
kali.
Sesuai
kesepakatan yang dibuat sebelum kami berpencar, pukul lima sore waktu setempat,
kami sudah harus kembali ke bis, untuk melanjutkan perjalanan ketujuan
selanjutnya, yaitu kota Yogyakarta.
Pukul delapan
pagi kami sudah sampai di Yogyakarta, bis pun berhenti di parkiran sebuah hotel
kecil yang menjadi tempat kami menginap selama beberapa hari kedepan. Para guru
mempersilahkan kami untuk masuk ke kamar masing-masing yang sudah ditentukan
sebelumnya untuk istirahat. Laki-laki berada dilantai satu, perempuan dilantai
dua. Satu kamar di isi oleh enam anak. Untungnya aku mendapatkan teman sekamar
yang tidak rewel dan suka mem-bully ku. Hari ini kami habiskan dengan
beristirahat dan bermain games di hotel.
Keesokan
harinya, pukul delapan pagi kami pergi mengunjungi Universitas Gajah Mada.
Kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi sebuah perusahan yang memproduksi gula
pasir dari tebu. Sore hari kami kembali ke hotel.
Hari ketiga,
kami mengunjungi candi Borobudur. Sebelum masuk kawasan candi, kami diberi
sehelai kain batik dan kami harus memakainya sampai kami akan meninggalkan
kawasan candi. Ku pikir kami disini akan sedikit bersenang-senang, tapi
ternyata tidak. Bu menik, guru sejarah kami, memberikan tugas kepada kami untuk
mencatat informasi sejarah yang kami dapatkan di kawasan candi Borobudur. Dan
itu sangat menyebalkan. Disaat orang-orang bersenang-senang, kami harus
mengerjakan tugas dari guru kami. Dan selesai mencatat semua yang kami
dapatkan, kami harus meninggalkan kawasan candi Borobudur. Dan sebelum kembali
ke hotel, para guru memberikan waktu 30 menit untuk kami membeli beberapa
oleh-oleh khas candi Borobudur atau daerah magelang. Aku membeli beberapa baju
untuk orang tua dan dua orang adik ku. Saking lelahnya, sampai hotel aku
langsung tidur dan tidak ikut makan malam.
Hari terakhir
study tour kami di kota Yogyakarta, para guru mengajak kami jalan-jalan. Pagi
hari kami diajak ke alun-alun kota jogja. Siang hari, kami mengunjungi sebuah
tempat pembuatan kain batik. Kami juga belajar caranya membatik. Setelah makan
malam, kami menonton sebuah pementasan drama tentang Rama dan Shinta. Suasana
ditempat teater agak remang-remang. Lina duduk disebelah ku, saat adengan
shinta di culik oleh beberapa hanoman, aku mengeluarkan sebuah miniatur sepeda
ontel kayu dari dalam tas ku. Ku panggil lina pelan.
“Lin..” lina
menoleh.
“ya ji?” Ah,
saat suasana remang-remang seperti ini, wajah lina terlihat semakin cantik
dengan hanya disinari beberapa lampu pentas dan sinar rembulan.
“nih buat lu.”
Kusodorkan miniatur sepeda itu. Lina tersenyum dan menerima hadiah itu.
“ih lucu banget!
Buat aku?” katanya tidak percaya. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum
padanya, takut mengganggu yang lain.
“makasih ya ji.”
Kata lina sambil tersenyum lebar kearah ku, memperlihatkan deretan giginya yang
putih dan rapih. Ku belai rambut sebahunya yang tergerai indah. Dan agenda hari
ini di akhiri dengan jalan-jalan ke malioboro. Pusat oleh-oleh kota jogja.
Sejak hari
pertama kami sampai di Yogyakarta, aku benar-benar merepotkan lina. Karena
setiap aku berusaha untuk berinteraksi dengan warga sekitar, selalu saja gagal
karena nada bicara ku yang kurang sopan, dengan sabar lina membantu ku
berinteraksi dengan mereka. Jadi sebagai tanda terimakasih, ku belikan miniatur
sepeda ontel itu untuknya saat di Borobudur kemarin.
Setelah acara
study tour, kami disuruh mengumpulkan laporan hasil study tour per mata
pelajaran. Sosiologi, sejarah, geografi, dan tidak ketinggalan, bahasa
Indonesia. Semua terasa sulit, karena lina tidak bisa membantuku. Sejak pulang
study tour dua hari yang lalu, ia jatuh sakit dan belum masuk sekolah lagi.
Ingin sekali aku menjenguknya, tapi rasanya itu tidak mungkin.
Hari ini
benar-benar membuat ku sakit kepala sebelah. Bayangkan saja! Semua laporan
study tour mata pelajaran bahasa Indonesia milikku ditolak mentah-mentah oleh
bu diah. Dia bilang bahwa bahasa penyampaian cerita di laporan ku sangat tidak
memenuhi syarat EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Demi langit dan bumi, saat bu
diah mengembalikan laporan ku, aku bersumpah akan berusaha menjadi seorang guru
bahasa Indonesia agar dapat menggantikannya mengajar disini.
Sebenarnya aku
ingin sekali pindah dari sekolah ini, karena sudah tidak tahan dengan tingkah
laku teman-teman dan guru-guru disini. Tapi aku mengurungkan niat ku itu hanya
demi satu orang.
Lina.
Ya. Dia yang
membujukku agar aku bertahan sekolah disini sampai lulus. Awalnya aku tak
mengindahkan usulannya itu. Tapi aku tidak tega padanya. Setiap hari dia
memberikan aku semangat untuk menjalani hari demi hari. Kujalani setiap waktu
disekolah bersamanya, apalagi setelah kami naik kelas tiga, aku dan lina
sekelas. Aku berpikir, kalau aku pindah dari sekolah ini, lina sendiri, pasti
jadi bahan ejekan teman-teman, tapi kalau aku tidak pindah, setidaknya lina
tidak perlu menanggung malu itu sendiri, toh aku dan dia memang selalu jadi
bahan ejekan teman-teman.
Hari-hari
berlalu begitu cepat. Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Dan betapa
terkejutnya aku, dari semua mata pelajaran UN, nilai bahasa ku paling besar
diantara mata pelajaran yang lain. 90! Ya! 90! Aku benar-benar tidak menyangka.
Pelajaran yang selama ini paling sulit masuk ke dalam otak ku, kini menjadi
pelajaran yang paling aku cintai. Tapi, jangan berpikir kalau aku membeli
sebuah kunci jawaban. Aku tidak berbuat curang. Aku benar-benar mengerjakan
soal dengan otak ku sendiri. Tapi tentu saja usaha ku tidak semudah yang kalian
bayangkan. Dan semua itu berkat pacar ku lina. Sumarlina!
Satu bulan
sebelum ujian nasional berlangsung. Aku jungkir balik belajar mati-matian. Dan
dengan sabar lina membimbingku. Dia mengajari ku semuanya. Bahkan hal yang
tidak diajarkan disekolah pun dia berikan kepada ku.
Dua minggu
setelah pengumuman kelulusan UN, aku dikejutkan dengan surat pemberitahuan dari
wali kelas ku. Di situ tertulis bahwa aku diterima di jurusan pendidikan sastra
Indonesia universitas negeri Jakarta lewat jalur undangan (SNMPTN). Betapa
senangnya hati ini. Ternyata sumpah ku waktu itu dikabulkan Allah SWT.
Buru-buru ku telepon lina untuk memberitahu kabar bahagia ini.
“assalamualaikum!
Liii.…” belum selesai aku menyapanya, dia sudah memotong sapaan ku.
“waalaikumsalam!
Ojiii!! Kok bisa pas banget sih! Aku baru aja mau telpon kamu loh. Aku seneng
banget ji! Aku pengen kasih kabar baik ke kamu.” suara lina terdengar sangat
bersemangat dan antusias.
“samaaaa
liiinn!!! Gue juga lagi seneng banget. Gue juga pengen kasih kabar baek ke elu.
Tapi lu duluan aje deh yang cerita,” aku mengalah.
“ojiii!!!! Aku
diterima di jurusan MIPA UNJ lewat SNMPTN!!!” suara lina kali ini diiringi isak
tangis bahagianya.
“sama liiinn!
Gue juga diterima dijurusan sastra Indonesia UNJ! Kita satu kampus lin!”
suaraku tak kalah antusiasnya dengan suara lina.
“ya allah
ojiii!!! Kabar dari kamu bener-bener bikin kebahagianku hari ini bener-bener
lengkap. Makasih gusti allah.” Suaranya mulai serak karena dia berbicara sambil
menangis. Aku yang terharu tak kuasa ikut meneteskan air mata.
Aku benar-benar
akan berusaha sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan untuk dapat
mewujudkan sumpah ku itu. Meskipun aku tahu, bahwa tidak mudah menghilangkan
logat betawi ini. Paling tidak aku akan berusaha agar dapat menempatkan bahasa
mana yang harus ku gunakan saat dimana dan kapan pun aku berada.
Semua ini
kulakukan untuk kedua orang tua ku. Dan terutama untuk seseorang yang sudah
membantuku melewati semua rintangan yang kulalui saat dibangku SMA. Seseorang
yang dengan kesabaran dan kebesaran hatinya mengajarkan aku, betapa pentingnya melalui
hidup ini dengan semangat dan ketabahan. Seseorang yang mengajarkan aku betapa
pentingnya sopan santun terhadap orang lain. Seseorang yang mengajarkan aku
bagaimana caranya agar aku tidak lari dari masalah. Seseorang yang mengajarkan
aku, bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia lina.
Perempuan yang punya tempat yang sama dengan kedua orang tuaku, disini. Dihatiku.
Mereka memberikan ku pelajaran yang tak pernah aku dapat disekolah. Yaitu,
bagaimana caranya memberikan cinta yang tulus dan ikhlas tanpa memandang paras
seseorang, tanpa memandang status sosialnya, dan tanpa memandang bagaimana dia
berbicara. Tapi, pandanglah hatinya.
Created by: Istyqomah Indriani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar