Jumat, 03 Juli 2015

Motivator Ku Sayang

Krik! krik! krik!

Suara jangkrik?

Bukan! Itu bukan suara jangkrik! Tapi itu suasana kelas ku saat ini setelah pak gege selesai menulis beberapa soal ekonomi di papan tulis. Ini sudah ketiga kalinya beliau masuk ke kelas ku untuk menggantikan pak harun yang sedang cuti mengajar ekonomi karena istrinya dirawat dirumah sakit. Sebenarnya pak gege (nama aslinya sih gemilang purnama, tapi entah kenapa ketika pidato perkenalannya sebagai kepala sekolah baru disini, beliau bilang kalau ia lebih suka dipanggil gege) adalah kepala sekolah di sini, tapi beliau juga merangkap sebagai guru ekonomi ketika dibutuhkan.

Oke kembali ke topik cerita. Kenapa kelas ku bisa se-krik ini? Karena, setelah menulis soal biasanya pak gege akan memanggil nama beberapa murid untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Mata elang pak gege mulai memandangi satu per satu wajah-wajah gugup di depannya, mencari mangsa. Sekilas kulihat ujung bibir sebelah kirinya terangkat sedikit ketika sepasang mata yang berada dibalik kacamata besarnya itu beradu pandang dengan mataku. Ouh sial! Aku agak takut dengan pandangannya yang seperti itu. Kenapa? Karena sejak hari pertama ia mengajar, aku selalu menjadi korban. Nama ku selalu saja dipangil pertama kali untuk mengerjakan salah satu soal di papan tulis. Entah apa salah ku padanya hingga aku sering sekali terkena omelannya. Jujur aku memang tidak bisa mengerjakan semua soal yang ia berikan pada ku, dan hasilnya… ujung jari ku selalu menjadi sasaran empuk penggaris kayu 100 cm miliknya.

Pak gege mulai menarik napas. Dan aku pasrah. Pasrah sepasrah pasrahnya!

“Brian Saputra, kerjakan nomor satu!” suara pak gege memecah keheningan.


Uh..eh?!?!?! Tadi dia bilang apa?!?! Brian Saputra? Loh? Bukan nama ku?! Akhirnya… setelah sekian lama, nama ku tidak di panggil. Yes yes yes!! Mendadak aku senyum senyum sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama, setelah ku lihat pak gege menarik napas lagi, senyum diwajah ku langsung hilang. Harusnya aku tidak boleh puas begitu saja. Bisa saja kan nama ku dipanggil setelah ini? Aaahhh… membayangkan itu saja sudah telak membuat ku tidak bisa duduk santai.

“Rizka Soleha, kerjakan nomor dua!” suara pak gege memecah keheningan lagi.
Eh… eh… tuh kan? Itu kan bukan nama ku! Ah! Mudah mudahan nama ku hari ini tidak di panggil!! Amin!!

“Untuk soal nomor tiga…”
Bukan aku… bukan aku… bukan aku…

Mata pak gege melirik se-isi kelas. Ku lihat wajah teman-teman ku pun tak kalah tegangnya dengan ku. Pak gege tersenyum licik ke arah ku.
Eih? Apaan tuh maksudnya? Perasaan ku jadi ga enak gini.

“Muhammad Pathuroji, kerjakan soal nomor tiga!”
Aahh… sial! Aku terlalu cepat senang nih kayaknya!

Suara pak gege kali ini disambut dengan wajah lega teman-teman ku yang lain. Terdengar beberapa suara yang menahan tawa ketika nama ku di sebut.

“Oji lagi… oji lagi… ckckck” kata Donny teman sebangku ku. Aku hanya bisa memandang tajam ke arahnya. Baru saja ingin ku jawab celetukan Donny,  tapi pak gege keburu memanggil kami.

“ayo kalian bertiga cepat maju dan kerjakan. Saya tidak bisa lama-lama.”

“emang bapak mau kemana?” Tanya sisil. Cewek paling centil dikelas.

“saya dan guru-guru mau rapat soal study tour kalian bulan depan. Ayo buruan kerjakan!” beberapa teman ku mulai kasak kusuk membicarakan study tour ketika aku berjalan kearah papan tulis.

Kami bertiga mulai mengerjakan soal. Beberapa menit kemudian rizka, cewek paling pintar dikelas, selesai mengerjakan dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Tinggal aku dan brian. Kulihat brian juga mulai kewalahan menghitung, dan sepertinya dia mulai pasrah. Aku sih memang sudah pasrah dari awal. Habisnya aku bingung. Aku benar-benar tidak mengerti pelajaran yang satu ini. Pak gege memegang amunisinya (penggaris kayu 100 cm nya itu loh). Sudah 15 menit kami di depan papan tulis, tapi hanya menulis diketahui saja. Aku benar-benar tidak tahu harus menulis apalagi.

“Brian! Oji! Kenapa berhenti?”

“Saya ga bisa ngerjain pa” kata brian dengan wajah tertunduk.

“Kamu oji! Kenapa tidak dilanjutkan menjawabnya?”
Belum sempat aku menjawab pertanyaan pak gege, pintu kelas diketuk dan masuklah bu Eni, guru TIK.

“pak, sudah ditunggu guru-guru yang lain, rapatnya sudah mau dimulai.” Kata bu eni. Terlihat kekecewaan diwajah pak gege, seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.

“Oke, terimakasih. Lima menit lagi saya kesana. Kamu duluan saja.”

“Baik pak, permisi.” Kata bu Eni, disambut dengan anggukan kepala pak gege.

“ulurkan tangan kalian. Ujung jari menghadap ke atas!”
Ah! Tadinya ku pikir ia akan segera menyelesaikan jam mengajarnya tanpa hukuman maut itu. Tapi nyatanya tidak. Kedua tangan ku dan brian menjulur, mengikuti intruksi pak gege. Dan…

PLETAK!!! PLETAK!!!

Penggaris buluk itu mendarat mulus di ujung jari-jari tangan ku dan brian. Aku hanya bisa meringis menahan sakit. Sedangkan brian mengaduh aduh kesakitan.

“baik anak-anak. pelajaran saya selesai kan sampai sini dulu. Selamat siang!”

“siang pak!” satu kelas serentak menjawab. Kecuali aku.
Pak gege berjalan keluar.

“sebentar pak. saya mau nanya.” Kata ku lantang. Pak gege membalikkan badan.

“ada apa oji? Jangan lama-lama.”

“kenape sih saya kena hukuman mulu tiap bapak ngajar? Saya salah ape sih pak?” Entah setan apa yang merasuki diriku sampai aku berani mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Se-isi kelas diam membisu. Sekilas kulihat senyum tipis diwajah pak gege.

“karena kamu belum bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar!” suara pak gege lantang, beliau berlalu pergi meninggalkan aku yang hanya bisa melongo mendengar jawabannya. Kepergian pak gege disambut ledakan tawa teman-teman sekelasku.

Aku memang sering dihukum guru bahasa Indonesia karena tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika pelajaran sedang berlangsung. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau  alasan pak gege menghukumku sama dengan alasan bu Diah menghukumku. Ya. Aku memang agak sulit berbaur dengan lingkungan sekolah karena gaya bicara ku yang kental dengan logat betawi asli. Dari kecil, kedua orang tua ku tidak pernah berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sepeti yang sering dikatakan bu diah. Aku juga sering menjadi bulan-bulanan teman-teman karena nama ku yang juga benar-benar betawi asli ‘Muhammad Pathuroji’. Kalau orang tua lain mungkin akan memberi nama ‘Fathurodzi’, berhubung orang tua ku asli betawi, mereka masih mengikuti budaya para leluhur. Sebenarnya aku juga agak sungkan berbicara dengan logat betawi ketika berada dilingkungan sekolah, atau sedang berbicara dengan orang lain yang bukan keluarga, seperti teman, guru, atau pacar. Padahal aku sudah kelas dua SMA, tapi entah kenapa sulit sekali rasanya jika ingin berbicara normal seperti teman-temanku yang lain, karena aksen betawi terdengar agak kasar dan kurang sopan jika digunakan dilingkungan pendidikan.

Dan hari ini pun, ku lalui dengan ledekan teman-teman yang membuat kepala ku tambah sakit. Setelah bel pulang berbunyi, buru-buru aku keluar kelas menuju parkiran dan menunggu seseorang yang sudah dua minggu terakhir ini menyandang status sebagai pacar ku. Ku keluarkan handphone dan mengirim sebuah sms.

To: Lina
Gue didepan na.

5 menit aku menunggu didepan sekolah, seorang gadis cantik berjalan ke arah ku. Ya. Itu Sumarlina, biasa dipanggil Lina, gadis yang tadi ku sebut pacarku. Buru-buru ku bantu dia membawa beberapa kantong jualannya. Lina tersenyum. Sebenarnya keluarganya termasuk golongan orang mampu. Waktu ku tanya kenapa ia jualan dikantin, ia bilang bahwa ia hanya membantu mamanya yang iseng-iseng membuat beberapa macam kue untuk dijual karena mamanya bingung tidak tahu harus melakukan apa ketika ia sendirian dirumah.

Saat perjalanan menuju rumah Lina, kami tidak banyak bicara. Tapi lama-kelamaan aku bosan juga dengan suasana sepi seperti ini.
“Lu kenape sih lin diem aje?”

“nggak apa apa kok ji. Aku cuma lagi pusing aja.” Sahut lina dengan suara lembut serta logat khas kota solonya.

“lu sakit Lin? Udeh minum obat belon?”

“udah kok. Oh iya, kamu gimana hari ini dikelas? Pak gege masuk kelas mu kan hari ini?”

“iye lin. Sumpeh deh, gue bingung ama ntu guru. Demen banget nyiksa gue.”

“kamu dihukum lagi?”

“iye, padahal tadi si gege udeh di samperin ama bu eni mau di ajak rapat, eh sempet-sempetnye ngehukum gue lin. Ampun dah!” kata ku sambil menepuk kening dengan tangan kiri ku.

“hahahaha. Sabar ya ji.” Lina tertawa. Kurasakan perasaan lega sekaligus senang kalau aku bisa membuat lina tertawa seperti ini.

“lu sendiri gimane dikelas?”

“tadi di kelas aku juga di ledekin terus sama anak-anak. Gara-gara pas baca puisi tadi logat solo ku medok banget. Tapi engga apa apa lah , aku udah biasa. Oh iya, gimana, kamu ikut ngga study tour minggu lusa?”

Banyak yang bilang kami pasangan yang cocok. Lina dikenal sebagai cewek paling lembut bicaranya, sedangkan aku dikenal sebagai cowok paling kasar bicaranya. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa, jika aku berpacaran dengan Lina, aku akan tertular lembutnya cara bicara Lina. Dan itu juga yang kupikirkan sebelum aku bertekad untuk memacari Lina. Aku pikir Lina bisa membantuku dalam berbicara, dan aku jatuh cinta sungguhan dengannya. Aku disadarkan Lina tentang acara penting yang sempat ku lupakan. STUDY TOUR!

“ye ikut lah. Yekali gue kaga ikut lin. Lu ikut kan?”

“iya aku ikut.”

“sip!” kataku sambil mengacungkan jempol tangan kiri ku. Beberapa menit setelah perbincangan, kami sampai di depan gang rumah Lina. Dan seperti biasa, Lina minta diturunkan disana.

“makasih ji. Hati-hati ya.”

“iye. Lu juga.” Ku lambaikan tangan, dan memacu motor menuju rumah.

Jangan berpikir bahwa aku adalah seorang pria tega yang pengecut karena tidak mengantar Lina sampai depan rumahnya. Waktu hari kedua kami pacaran, aku sengaja main kerumah Lina, dengan niat memperkenalkan diri sebagai pacarnya. Awalnya mama Lina senang aku datang, karena Lina tidak pernah mengajak teman sekolahnya ke rumah, apalagi seorang laki-laki. Tapi setelah mendengar logat bicara ku dan ku katakana kalau aku orang betawi asli, raut wajahnya berubah 180 derajat. Dihari itulah hubungan kami tidak direstui, dan aku dilarang mendekati Lina. Sejak saat itu Lina tidak mau jika aku mengantarnya sampai depan rumahnya, dia takut kalau mamanya akan marah pada kami berdua.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Penuh dengan ejekan. Dua hari lagi study tour, aku harus bergegas membereskan barang bawaan ku. Setelah bel pulang sekolah aku langsung mengantar lina dan pulang kerumah.

Sebelum berangkat, kami semua dikumpulkan dilapangan untuk dibagi perkelompok dan bis. Hal yang paling membuat aku bahagia hari ini adalah, aku satu kelompok dengan Lina! Aahh.. senangnya hati ku. Itu berarti banyak waktu yang akan aku habiskan bersama Lina hehehe...

Aku dan lina sepakat duduk di bangku yang bersebelahan. Lina memilih lokasi bangku ditengah-tengah bis, dan aku mengiyakan. Sepanjang perjalanan kami bersenda gurau dan tidur. Tujuan pertama kami adalah mengunjungi kampung naga. Kampung naga adalah sebuah pemukiman yang jauh dari hiruk pikuk kota modern. Kampung ini benar-benar sangat menjaga nilai leluhur, sampai tidak mau bersentuhan dengan zaman modern. Bayangkan saja, ketika orang-orang berlomba-lomba menjadi orang paling gaul, orang-orang di kampung ini sama sekali tidak punya pikiran seperti itu.

Kami diberi tugas untuk mengamati sosiologi yang berlangsung di kampung naga ini. Aku agak sulit berinteraksi dengan orang-orang kampung naga. Beberapa warga malah menganggap aku berbicara tidak sopan, hingga beberapa kali aku terkena teguran pak nur, guru sosiologi ku. Beberapa kali juga Lina memperingatkan aku untuk tidak banyak bicara. Tapi untuk teman-teman yang lain, itu merupakan suatu hiburan tersendiri bagi mereka.

Awalnya aku mengikuti saran Lina, tidak banyak bicara. Tapi lama kelamaan mulut ini terasa gatal sekali ingin bicara. Memang dasarnya aku saja yang tidak bisa diam, saat kulihat seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun sedang memungut daun jati, hati ku tergerak ingin bertanya padanya.

“halo adek. Siape namanye?” tanya ku dengan suara yang menurutku biasa saja. Menuruku. Anak itu diam dan menatap ku. Bukannya menjawab pertanyaan ku, dia malah menangis dan masuk kedalam rumah panggung yang ada dibelakangnya. Sontak teman-temanku tertawa melihat kejadian itu. Kulihat Lina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak lama setelah itu, anak itu keluar dari rumah panggung itu bersama dengan seorang lelaki tinggi besar bekulit gelap. Sambil sesengukan anak itu menunjuk kearah ku. Kemudian lelaki itu menghampiriku dengan mata besarnya yang melotot. Melihat gelagat yang tidak enak dari lelaki itu, pak nur langsung menghampiriku.

“orang itu pasti bapaknya si bocah yang kamu bikin nangis. Bentar lagi dia pasti marahin kamu. Kamu diam aja ya nanti.” Bisik pak nur ditelinga ku. Seperti dihantam petir. Aku hanya bisa mendelik kaget.

Dan benar saja, saat lelaki itu tiba dihadapanku dan pak nur, ia mengucapkan kata-kata dengan nada tinggi, tapi aku tidak mengerti maksudnya apa. Dari sorot matanya, sepertinya ucapan-ucapannya itu ditujukan untukku. Aku hanya bisa melongo mendengar lelaki itu berbicara. Pak nur yang mungkin mengerti apa maksud dari perkataan lelaki itu, langsung menenangkannya. Dan tak lama, pak nur pun berbicara menggunakan bahasa yang tak kalah anehnya dengan yang keluar dari mulut lelaki itu.

Beberapa saat kemudian, raut wajah si lelaki itu sudah tidak menunjukkan kemarahan lagi. Setelah itu, pak nur dan lelaki itu berjabat tangan, dan kemudian lelaki itu masuk lagi kerumah panggung itu dengan meggendong anak laki-laki yang tadi menangis karena ku. Pak nur berbalik menatap ku, kemudian meyentil telinga sebelah kiri ku. Aku hanya bisa meringis dan mengusap-usap telingaku yang terasa panas akibat sentilan pak nur.

Pak nur kembali memimpin barisan, berjalan kedepan. Lina menghampiriku.
“kamu sih, ku bilangin ngga percaya. Disuruh diem aja malah nekad. Sakit ga?” lina memarahi ku sambil mengelus telinga ku yang disentil pak nur.

“kalo lu pegangin terus kayak begono kuping gue sih jadi kaga sakit lin hehehe” kataku menggoda lina. Bukannya melepas elusan tangannya ditelingaku, lina malah menjewernya dan sukses membuat ku mengaduh kesakitan.

“aduh lin! ampun lin! Sakit sumpeh! Lu ngapa jewer kuping gue dah?!” kataku sambil berusaha melepas jeweran lina dari telingaku.

“hihi… kamu tuh godain aku terus sih soalnya” lina melepaskan jewerannya dan aku hanya bisa meringis dan mengelus-elus telingaku yang hari ini sudah terkena musibah dua kali.

Sesuai kesepakatan yang dibuat sebelum kami berpencar, pukul lima sore waktu setempat, kami sudah harus kembali ke bis, untuk melanjutkan perjalanan ketujuan selanjutnya, yaitu kota Yogyakarta.

Pukul delapan pagi kami sudah sampai di Yogyakarta, bis pun berhenti di parkiran sebuah hotel kecil yang menjadi tempat kami menginap selama beberapa hari kedepan. Para guru mempersilahkan kami untuk masuk ke kamar masing-masing yang sudah ditentukan sebelumnya untuk istirahat. Laki-laki berada dilantai satu, perempuan dilantai dua. Satu kamar di isi oleh enam anak. Untungnya aku mendapatkan teman sekamar yang tidak rewel dan suka mem-bully ku. Hari ini kami habiskan dengan beristirahat dan bermain games di hotel.

Keesokan harinya, pukul delapan pagi kami pergi mengunjungi Universitas Gajah Mada. Kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi sebuah perusahan yang memproduksi gula pasir dari tebu. Sore hari kami kembali ke hotel.

Hari ketiga, kami mengunjungi candi Borobudur. Sebelum masuk kawasan candi, kami diberi sehelai kain batik dan kami harus memakainya sampai kami akan meninggalkan kawasan candi. Ku pikir kami disini akan sedikit bersenang-senang, tapi ternyata tidak. Bu menik, guru sejarah kami, memberikan tugas kepada kami untuk mencatat informasi sejarah yang kami dapatkan di kawasan candi Borobudur. Dan itu sangat menyebalkan. Disaat orang-orang bersenang-senang, kami harus mengerjakan tugas dari guru kami. Dan selesai mencatat semua yang kami dapatkan, kami harus meninggalkan kawasan candi Borobudur. Dan sebelum kembali ke hotel, para guru memberikan waktu 30 menit untuk kami membeli beberapa oleh-oleh khas candi Borobudur atau daerah magelang. Aku membeli beberapa baju untuk orang tua dan dua orang adik ku. Saking lelahnya, sampai hotel aku langsung tidur dan tidak ikut makan malam.

Hari terakhir study tour kami di kota Yogyakarta, para guru mengajak kami jalan-jalan. Pagi hari kami diajak ke alun-alun kota jogja. Siang hari, kami mengunjungi sebuah tempat pembuatan kain batik. Kami juga belajar caranya membatik. Setelah makan malam, kami menonton sebuah pementasan drama tentang Rama dan Shinta. Suasana ditempat teater agak remang-remang. Lina duduk disebelah ku, saat adengan shinta di culik oleh beberapa hanoman, aku mengeluarkan sebuah miniatur sepeda ontel kayu dari dalam tas ku. Ku panggil lina pelan.

“Lin..” lina menoleh.

“ya ji?” Ah, saat suasana remang-remang seperti ini, wajah lina terlihat semakin cantik dengan hanya disinari beberapa lampu pentas dan sinar rembulan.

“nih buat lu.” Kusodorkan miniatur sepeda itu. Lina tersenyum dan menerima hadiah itu.

“ih lucu banget! Buat aku?” katanya tidak percaya. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum padanya, takut mengganggu yang lain.

“makasih ya ji.” Kata lina sambil tersenyum lebar kearah ku, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapih. Ku belai rambut sebahunya yang tergerai indah. Dan agenda hari ini di akhiri dengan jalan-jalan ke malioboro. Pusat oleh-oleh kota jogja.

Sejak hari pertama kami sampai di Yogyakarta, aku benar-benar merepotkan lina. Karena setiap aku berusaha untuk berinteraksi dengan warga sekitar, selalu saja gagal karena nada bicara ku yang kurang sopan, dengan sabar lina membantu ku berinteraksi dengan mereka. Jadi sebagai tanda terimakasih, ku belikan miniatur sepeda ontel itu untuknya saat di Borobudur kemarin.

Setelah acara study tour, kami disuruh mengumpulkan laporan hasil study tour per mata pelajaran. Sosiologi, sejarah, geografi, dan tidak ketinggalan, bahasa Indonesia. Semua terasa sulit, karena lina tidak bisa membantuku. Sejak pulang study tour dua hari yang lalu, ia jatuh sakit dan belum masuk sekolah lagi. Ingin sekali aku menjenguknya, tapi rasanya itu tidak mungkin.

Hari ini benar-benar membuat ku sakit kepala sebelah. Bayangkan saja! Semua laporan study tour mata pelajaran bahasa Indonesia milikku ditolak mentah-mentah oleh bu diah. Dia bilang bahwa bahasa penyampaian cerita di laporan ku sangat tidak memenuhi syarat EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Demi langit dan bumi, saat bu diah mengembalikan laporan ku, aku bersumpah akan berusaha menjadi seorang guru bahasa Indonesia agar dapat menggantikannya mengajar disini.
Sebenarnya aku ingin sekali pindah dari sekolah ini, karena sudah tidak tahan dengan tingkah laku teman-teman dan guru-guru disini. Tapi aku mengurungkan niat ku itu hanya demi satu orang.

Lina.

Ya. Dia yang membujukku agar aku bertahan sekolah disini sampai lulus. Awalnya aku tak mengindahkan usulannya itu. Tapi aku tidak tega padanya. Setiap hari dia memberikan aku semangat untuk menjalani hari demi hari. Kujalani setiap waktu disekolah bersamanya, apalagi setelah kami naik kelas tiga, aku dan lina sekelas. Aku berpikir, kalau aku pindah dari sekolah ini, lina sendiri, pasti jadi bahan ejekan teman-teman, tapi kalau aku tidak pindah, setidaknya lina tidak perlu menanggung malu itu sendiri, toh aku dan dia memang selalu jadi bahan ejekan teman-teman.

Hari-hari berlalu begitu cepat. Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Dan betapa terkejutnya aku, dari semua mata pelajaran UN, nilai bahasa ku paling besar diantara mata pelajaran yang lain. 90! Ya! 90! Aku benar-benar tidak menyangka. Pelajaran yang selama ini paling sulit masuk ke dalam otak ku, kini menjadi pelajaran yang paling aku cintai. Tapi, jangan berpikir kalau aku membeli sebuah kunci jawaban. Aku tidak berbuat curang. Aku benar-benar mengerjakan soal dengan otak ku sendiri. Tapi tentu saja usaha ku tidak semudah yang kalian bayangkan. Dan semua itu berkat pacar ku lina. Sumarlina!

Satu bulan sebelum ujian nasional berlangsung. Aku jungkir balik belajar mati-matian. Dan dengan sabar lina membimbingku. Dia mengajari ku semuanya. Bahkan hal yang tidak diajarkan disekolah pun dia berikan kepada ku.

Dua minggu setelah pengumuman kelulusan UN, aku dikejutkan dengan surat pemberitahuan dari wali kelas ku. Di situ tertulis bahwa aku diterima di jurusan pendidikan sastra Indonesia universitas negeri Jakarta lewat jalur undangan (SNMPTN). Betapa senangnya hati ini. Ternyata sumpah ku waktu itu dikabulkan Allah SWT. Buru-buru ku telepon lina untuk memberitahu kabar bahagia ini.
“assalamualaikum! Liii.…” belum selesai aku menyapanya, dia sudah memotong sapaan ku.

“waalaikumsalam! Ojiii!! Kok bisa pas banget sih! Aku baru aja mau telpon kamu loh. Aku seneng banget ji! Aku pengen kasih kabar baik ke kamu.” suara lina terdengar sangat bersemangat dan antusias.

“samaaaa liiinn!!! Gue juga lagi seneng banget. Gue juga pengen kasih kabar baek ke elu. Tapi lu duluan aje deh yang cerita,” aku mengalah.

“ojiii!!!! Aku diterima di jurusan MIPA UNJ lewat SNMPTN!!!” suara lina kali ini diiringi isak tangis bahagianya.

“sama liiinn! Gue juga diterima dijurusan sastra Indonesia UNJ! Kita satu kampus lin!” suaraku tak kalah antusiasnya dengan suara lina.

“ya allah ojiii!!! Kabar dari kamu bener-bener bikin kebahagianku hari ini bener-bener lengkap. Makasih gusti allah.” Suaranya mulai serak karena dia berbicara sambil menangis. Aku yang terharu tak kuasa ikut meneteskan air mata.

Aku benar-benar akan berusaha sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan untuk dapat mewujudkan sumpah ku itu. Meskipun aku tahu, bahwa tidak mudah menghilangkan logat betawi ini. Paling tidak aku akan berusaha agar dapat menempatkan bahasa mana yang harus ku gunakan saat dimana dan kapan pun aku berada.

Semua ini kulakukan untuk kedua orang tua ku. Dan terutama untuk seseorang yang sudah membantuku melewati semua rintangan yang kulalui saat dibangku SMA. Seseorang yang dengan kesabaran dan kebesaran hatinya mengajarkan aku, betapa pentingnya melalui hidup ini dengan semangat dan ketabahan. Seseorang yang mengajarkan aku betapa pentingnya sopan santun terhadap orang lain. Seseorang yang mengajarkan aku bagaimana caranya agar aku tidak lari dari masalah. Seseorang yang mengajarkan aku, bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia lina. Perempuan yang punya tempat yang sama dengan kedua orang tuaku, disini. Dihatiku. Mereka memberikan ku pelajaran yang tak pernah aku dapat disekolah. Yaitu, bagaimana caranya memberikan cinta yang tulus dan ikhlas tanpa memandang paras seseorang, tanpa memandang status sosialnya, dan tanpa memandang bagaimana dia berbicara. Tapi, pandanglah hatinya.





Created by:  Istyqomah Indriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar