"RAKA"
Semakin hari keadaan Sunni semakin membaik. Karena itu,
dokter memperbolehkan ia dirawat dirumah, meski masih ada beberapa alat rumah
sakit yang harus dibawa pulang juga. Tapi itu sudah lebih dari cukup daripada
ia harus terus tinggal dirumah sakit.
Sebenarnya sabtu ini aku berencana untuk mengajak Sunni jalan-jalan
ke mall dan mengajaknya ke bioskop. Tapi orangtuanya sedikit khawatir, jadi ku
urungkan niatku itu. Hanya saja, aku benar-benar tidak tega melihatnya hanya
mondar-mandir dirumah dan melihat acara TV yang membosankan.
Akhirnya
kuputuskan untuk membeli beberapa dvd film terbaru dan ku ajak ia nonton
bersama dirumahnya. Sunni setuju, bahkan ia memberi ide untuk membuat pop corn
dan membeli beberapa camilan lain untuk teman saat kita nonton nanti. Untuk
minumannya, berhubung ia tidak boleh minum sembarangan, jadi ia hanya membeli
air mineral dan susu saja.
Aku senang, karena ku lihat Sunni terus tersenyum hari ini.
Dari awal ku ajak iya nonton, lalu kita ke super market untuk belanja makanan, hingga
kami selesai nonton film, senyum itu masih ada di wajahnya.
Aku ingin terus membuatnya tersenyum seperti itu. Membuatnya
menjadi wanita yang istimewa di hidup ku. Dan aku ingin terus hidup bersamanya.
Tapi, apakah itu mungkin? Karena terbesit sebuah pikiran dikepalaku yang
berpikir bahwa keadaan seperti ini tidak akan bertahan lama lagi. Aahh… ku
buang pikiran buruk tentang aku dan Sunni.
Hari ini Sunni menelepon ku, ia bilang ingin pergi ke taman
dan bermain ayunan selagi ia masih ada waktu. Aku agak heran dengan
kata-katanya. Tapi, daripada aku berdebat dan membuatnya sedih, lebih baik ku
iyakan saja. Sampai sana, ia terlihat senang dan berlari menuju ayunan tua itu.
Tapi ada yang aneh. Tatapan matanya datar dan kosong. Ia memang tersenyum, tapi
matanya… benar-benar hampa. Ia menggoyang-goyangkan ayunan itu, ia minta aku
mendorongnya. Beberapa saat kemudian ia minta berhenti. “Raka gue capek. Udah
ga kuat lagi” dengan wajah tertuduk ia bergumam. Aku pindah kehadapannya.
Astaga. Ini seperti bukan Sunni. Tatapan aneh dengan wajah pucat pasi tanpa
senyum ataupun air mata. “Lu kenapa Sun? Kalo capek yaudah, ayo kita pulang”
kata ku sambil menggenggam tangannya yang terasa sangat dingin. Lalu tiba-tiba
datang sebuah cahaya putih yang menyilauka mata dari belakang tubuh Sunni. Lalu
munculah seorang anak perempuan sekitar umur 8 tahun, dan mengajak Sunni
menaiki tangga yang berkilauan cahaya itu. “Raka gue pergi dulu ya” Sunni
melambaikan tangannya kea rah ku sambil berjalan mengikuti anak kecil itu. Aku
ingin menghentikannya saat itu juga. Namun tubuh ini tak bisa digerakkan sama
sekali. Aku tidak ingin perpisahan beberapa tahun lalu terulang kembali diwaktu
yang sesingkat ini. Aku hanya bisa memanggil-manggil namanya. “Sunni!!!!
Sunni!!!! Sunni!!!! Sunniiiiiiiiii…………”
Mataku terbuka lebar, jantungku berdegup kencang, dan
sekujur tubuhku berbalur keringat. Itu hanya mimpi. Ya, hanya mimpi. Syukurlah
Tuhan. Ku tenangkan diri ini dan kembali tidur. Besok aku harus bertemu Sunni
dan menceritakan mimpi ini padanya.
Dalam perjalanan kerumah Sunni, kulihat seorang nenek
dipinggir jalan sedang berusaha mempertahan kan tas yang dibawanya. Nenek itu
jadi sasaran perampokkan.
“Woi!!! Lepasin!!” kata ku dengan lantang dan berlari ke
arah nenek itu. Ku bantu sang nenek menarik kembali tas miliknya. Perampok itu
ternyata tidak datang hanya dengan satu motor. Dari arah belakanya muncul satu
motor lagi, dan pelaku yang baru datang itu berlari ke arah ku kemudian
menancapkan sesuatu dibagian perutku, hingga aku berhenti membantu nenek itu
mempertahankan tas nya.
Aku terdiam sesaat, saat melihat sebilau pisau menancap
diperutku. Aku mulai merasakan pening hebat. Kurasakan tubuh ini jatuh
tersungkur ke aspal. Mata ini pun perlahan-lahan memberat. Tapi telinga ku
masih bisa mendengar suara-suara didekatku. Aku mendengar suara nenek minta
tolong, dan beliau mengusap keningku. Lalu tiba-tiba saja semua suara hilang,
hanya tinggal mata ini yang sesekali melihat gelap dan masih bisa melihat
keadaan sekitar. Tapi pikiran ku benar-benar kosong.
Tiba-tiba saja aku merasa
seperti berada diruangan serba putih dengan bau yang aneh. Ku lihat wajah sang
nenek yang tak berhenti menangis dan berbicara dengan seseorang di telepon.
Kenapa? Ada apa?
Ku lihat beberapa orang berpakaian jas putih, mengenakan
masker dan sarung tangan karet, mendekatiku. Ku palingkan wajah ku kesebelah
kanan. Ada seorang gadis menahan sakit dan kemudian melihat kea rah ku.
“Sunni….” Kusebut namanya dan berusaha menggapai tangannya. Dia mengulurkan
tangannya, ku pandangi wajahnya sesaat. Jantung ini seperti berhenti berdetak.
Kemudian gelap, dan kurasakan jiwa ini melayang seperti layang-layang yang
terbawa angin kemarau…
Jika lentera itu
terang…
Pasti gelap jadi
benderang…
Belaian mu jadi nyata…
Karena…
“SUNNI”
Ku rasakan tubuh ini melemah dan kehilangan akal. Ku lihat
langit-langit kamar yang warnanya semakin memudar. Ku dengar suara gelas pecah
yang jatuh karena tersentuh tangan ini yang bergerak tak kenal arah.
Ku lihat kedua orang tua ku datang dan memperlihatkan wajah
panik karena suaraku yang mengaduh kesakitan. Ingin rasanya aku diam saja. Tapi
suara ini tak bisa berhenti, malah semaki menjadi.
Terasa tubuh ini dibopong
oleh tangan kokoh ayah ku yang berusaha melindungiku selalu. Ingin ku ucapkan terima kasih dan permohonan
maaf pada ayah dan ibu. Tapi mulut ini tak sanggup berkata lain selain sakit.
Aku bisa menebak kemana selanjutnya tubuh ini akan berbaring. Rumah sakit.
Sudah biasa sebenarnya. Tapi kali ini terasa berbeda. Perut
ini semakin meronta hingga aku ingin merobeknya dan mengeluarkan sesuatu yang
membuatnya bergolak tak henti-hentinya. Kepala ini semakin pusing, dan mata ini
pun semakin berat. Nafas ini pun tak lagi normal. Ku palingkan wajah ke sebelah
kiri, melihat segerombolan orang berpakaian putih berlari.
Seraut wajah pucat dengan sinar mata teduh memandangku dan
mengulurkan tangannya. “Raka…” ku sebut nama pemilik wajah itu. Ku sambut
uluran tangannya. Matanya terpejam. Kemudian dada ini tersengal dan mata ku
merekat dalam suasana gaduh dengan ruang hampa yang pengap dan gelap…
Karena saat jiwaku dan
dirimu satu…
Lantunan cinta menari
di atas pasir…
Bergolak riang terbawa
angin…
Sebab ini lah dunia
kita…
Created by: Istyqomah Indriani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar