Jumat, 24 April 2015

Sebuah Ayunan #5

"RAKA"


Semakin hari keadaan Sunni semakin membaik. Karena itu, dokter memperbolehkan ia dirawat dirumah, meski masih ada beberapa alat rumah sakit yang harus dibawa pulang juga. Tapi itu sudah lebih dari cukup daripada ia harus terus tinggal dirumah sakit.

Sebenarnya sabtu ini aku berencana untuk mengajak Sunni jalan-jalan ke mall dan mengajaknya ke bioskop. Tapi orangtuanya sedikit khawatir, jadi ku urungkan niatku itu. Hanya saja, aku benar-benar tidak tega melihatnya hanya mondar-mandir dirumah dan melihat acara TV yang membosankan. 

Akhirnya kuputuskan untuk membeli beberapa dvd film terbaru dan ku ajak ia nonton bersama dirumahnya. Sunni setuju, bahkan ia memberi ide untuk membuat pop corn dan membeli beberapa camilan lain untuk teman saat kita nonton nanti. Untuk minumannya, berhubung ia tidak boleh minum sembarangan, jadi ia hanya membeli air mineral dan susu saja.

Aku senang, karena ku lihat Sunni terus tersenyum hari ini. Dari awal ku ajak iya nonton, lalu kita ke super market untuk belanja makanan, hingga kami selesai nonton film, senyum itu masih ada di wajahnya.

Aku ingin terus membuatnya tersenyum seperti itu. Membuatnya menjadi wanita yang istimewa di hidup ku. Dan aku ingin terus hidup bersamanya. Tapi, apakah itu mungkin? Karena terbesit sebuah pikiran dikepalaku yang berpikir bahwa keadaan seperti ini tidak akan bertahan lama lagi. Aahh… ku buang pikiran buruk tentang aku dan Sunni.


Hari ini Sunni menelepon ku, ia bilang ingin pergi ke taman dan bermain ayunan selagi ia masih ada waktu. Aku agak heran dengan kata-katanya. Tapi, daripada aku berdebat dan membuatnya sedih, lebih baik ku iyakan saja. Sampai sana, ia terlihat senang dan berlari menuju ayunan tua itu. Tapi ada yang aneh. Tatapan matanya datar dan kosong. Ia memang tersenyum, tapi matanya… benar-benar hampa. Ia menggoyang-goyangkan ayunan itu, ia minta aku mendorongnya. Beberapa saat kemudian ia minta berhenti. “Raka gue capek. Udah ga kuat lagi” dengan wajah tertuduk ia bergumam. Aku pindah kehadapannya. Astaga. Ini seperti bukan Sunni. Tatapan aneh dengan wajah pucat pasi tanpa senyum ataupun air mata. “Lu kenapa Sun? Kalo capek yaudah, ayo kita pulang” kata ku sambil menggenggam tangannya yang terasa sangat dingin. Lalu tiba-tiba datang sebuah cahaya putih yang menyilauka mata dari belakang tubuh Sunni. Lalu munculah seorang anak perempuan sekitar umur 8 tahun, dan mengajak Sunni menaiki tangga yang berkilauan cahaya itu. “Raka gue pergi dulu ya” Sunni melambaikan tangannya kea rah ku sambil berjalan mengikuti anak kecil itu. Aku ingin menghentikannya saat itu juga. Namun tubuh ini tak bisa digerakkan sama sekali. Aku tidak ingin perpisahan beberapa tahun lalu terulang kembali diwaktu yang sesingkat ini. Aku hanya bisa memanggil-manggil namanya. “Sunni!!!! Sunni!!!! Sunni!!!! Sunniiiiiiiiii…………”

Mataku terbuka lebar, jantungku berdegup kencang, dan sekujur tubuhku berbalur keringat. Itu hanya mimpi. Ya, hanya mimpi. Syukurlah Tuhan. Ku tenangkan diri ini dan kembali tidur. Besok aku harus bertemu Sunni dan menceritakan mimpi ini padanya.

Dalam perjalanan kerumah Sunni, kulihat seorang nenek dipinggir jalan sedang berusaha mempertahan kan tas yang dibawanya. Nenek itu jadi sasaran perampokkan.

“Woi!!! Lepasin!!” kata ku dengan lantang dan berlari ke arah nenek itu. Ku bantu sang nenek menarik kembali tas miliknya. Perampok itu ternyata tidak datang hanya dengan satu motor. Dari arah belakanya muncul satu motor lagi, dan pelaku yang baru datang itu berlari ke arah ku kemudian menancapkan sesuatu dibagian perutku, hingga aku berhenti membantu nenek itu mempertahankan tas nya.

Aku terdiam sesaat, saat melihat sebilau pisau menancap diperutku. Aku mulai merasakan pening hebat. Kurasakan tubuh ini jatuh tersungkur ke aspal. Mata ini pun perlahan-lahan memberat. Tapi telinga ku masih bisa mendengar suara-suara didekatku. Aku mendengar suara nenek minta tolong, dan beliau mengusap keningku. Lalu tiba-tiba saja semua suara hilang, hanya tinggal mata ini yang sesekali melihat gelap dan masih bisa melihat keadaan sekitar. Tapi pikiran ku benar-benar kosong. 

Tiba-tiba saja aku merasa seperti berada diruangan serba putih dengan bau yang aneh. Ku lihat wajah sang nenek yang tak berhenti menangis dan berbicara dengan seseorang di telepon. Kenapa? Ada apa?

Ku lihat beberapa orang berpakaian jas putih, mengenakan masker dan sarung tangan karet, mendekatiku. Ku palingkan wajah ku kesebelah kanan. Ada seorang gadis menahan sakit dan kemudian melihat kea rah ku. “Sunni….” Kusebut namanya dan berusaha menggapai tangannya. Dia mengulurkan tangannya, ku pandangi wajahnya sesaat. Jantung ini seperti berhenti berdetak. Kemudian gelap, dan kurasakan jiwa ini melayang seperti layang-layang yang terbawa angin kemarau…


Jika lentera itu terang…
Pasti gelap jadi benderang…
Belaian mu jadi nyata…
Karena…



“SUNNI”


Ku rasakan tubuh ini melemah dan kehilangan akal. Ku lihat langit-langit kamar yang warnanya semakin memudar. Ku dengar suara gelas pecah yang jatuh karena tersentuh tangan ini yang bergerak tak kenal arah.

Ku lihat kedua orang tua ku datang dan memperlihatkan wajah panik karena suaraku yang mengaduh kesakitan. Ingin rasanya aku diam saja. Tapi suara ini tak bisa berhenti, malah semaki menjadi. 

Terasa tubuh ini dibopong oleh tangan kokoh ayah ku yang berusaha melindungiku  selalu. Ingin ku ucapkan terima kasih dan permohonan maaf pada ayah dan ibu. Tapi mulut ini tak sanggup berkata lain selain sakit. Aku bisa menebak kemana selanjutnya tubuh ini akan berbaring. Rumah sakit.

Sudah biasa sebenarnya. Tapi kali ini terasa berbeda. Perut ini semakin meronta hingga aku ingin merobeknya dan mengeluarkan sesuatu yang membuatnya bergolak tak henti-hentinya. Kepala ini semakin pusing, dan mata ini pun semakin berat. Nafas ini pun tak lagi normal. Ku palingkan wajah ke sebelah kiri, melihat segerombolan orang berpakaian putih berlari.

Seraut wajah pucat dengan sinar mata teduh memandangku dan mengulurkan tangannya. “Raka…” ku sebut nama pemilik wajah itu. Ku sambut uluran tangannya. Matanya terpejam. Kemudian dada ini tersengal dan mata ku merekat dalam suasana gaduh dengan ruang hampa yang pengap dan gelap…


Karena saat jiwaku dan dirimu satu…
Lantunan cinta menari di atas pasir…
Bergolak riang terbawa angin…
Sebab ini lah dunia kita…



Created by: Istyqomah Indriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar