Minggu, 13 April 2014

Sebuah Ayunan #2

'SUNNI'

Mengapa di setiap pertemuan, ada perpisahan? Mungkinkah itu takdir? Tapi mengapa aku harus terpisah darinya karena penyakit ini? Takdir kah itu?

Rasa sakit semakin menjalar diseluruh tubuh ku ketika aku memaksakan diri untuk bergerak. Sudah 2 bulan terakhir ini kondisi kesehatan ku bertambah buruk. Aku sering keluar masuk rumah sakit. Tapi aku bertekad untuk sembuh, untuk demi hidup ku, demi orang tua ku, dan demi seseorang yang sedang menunggu kehadiran ku. Ya, itulah alasan ku bertahan hidup sampai sekarang.

Semua itu di mulai ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Ketika itu aku sering sekali mengeluh sakit dibagian perut. Aku pikir itu hanya sakit perut biasa. Tapi suatu hari, rasa sakit itu benar-benar tidak tertahan kan lagi, dan akhirnya orang tua ku membawa ku kerumah sakit.  Dokter menyarankan agar aku di rawat inap, karena hasil pemeriksaannya baru keluar keesokkan harinya. Dan ketika hasilnya keluar, bukannya membuat aku sembuh, malah membuat kesehatan ku semakin terpuruk. Dokter mengatakan, bahwa aku terkena kanker perut stadium 3. Dan itu membuat ku kehilangan masa remaja ku dengan berlalu begitu saja.

Sejak vonis dokter waktu itu, hidup ku tak lagi secerah dulu. Aku sering melamun, tidak keluar kamar berhari-hari, dan selalu berpikir untuk mengakhiri hidup ku sendiri akan lebih baik, tapi hal itu tak pernah terwujud, karena aku terlalu takut untuk melakukan hal seperti itu, dan aku takut mengecewakan orang tua ku.

Tapi menurut dokter, aku termasuk orang yang beruntung, karena aku masih bisa bertahan hidup sampai aku lulus SMA dan kuliah. Tapi selama itu, kondisi ku semakin parah. Penyakit ini semakin berkembang. Dokter
bilang aku masih punya kesempatan sembuh walaupun hanya 10%. Awalnya aku hanya bisa pasrah mendengar perkataan dokter.

Aku sering datang ke sebuah taman kota yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah ku. Biasanya aku kesana menggunakan jasa tukang ojek atau taksi jika dari tempat kuliah ku. Sudah dari SMA dulu aku sering datang kesini. Dan sejak itulah aku memperhatikan seorang pria yang setiap hari juga datang ke taman itu hanya untuk duduk disebuah ayunan sambil melamun tanpa memainkannya. Dan ku lihat tatapannya kosong. Seperti orang yang memiliki beban hidup yang sangat berat. Dan sebenarnya, aku ingin tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dan pikiran itu selalu menghantui ku hingga saat ini.

Sebelum ia datang, aku masih punya kesempatan untuk bermain ayunan ini. Rasanya seperti melupakan beban hidup ini sejenak, ketika menghempaskan tubuh yang ikut mengayun bersama ayunan tua ini. Kupejamkan mata dan menikmati hembusan angin yang menerpa seluruh tubuh ku. Dan saat itulah aku merasa bebas. Seperti melayang ke udara. Tapi keadaan itu tidak pernah bertahan lama. Karena jika ia datang, aku langsung buru-buru meninggalkan ayunan dan duduk di sebuah bangku taman yang berjarak sekitar 25 meter dari tempat ayunan berada, untuk memperhatikannya.

Tapi suatu hari, aku datang terlambat ke taman karena ada tugas kuliah yang harus aku kerjakan. Aku melihat ia sudah duduk di ayunan tua itu. Aku benar-benar kalut dan bingung. Karena ia pasti akan lama duduk disana. Dan aku tidak bisa memastikan kapan ia akan beranjak dari ayunan itu. Tapi aku bersabar dan menunggunya pergi. Kulihat jam tangan ku, sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dan itu berarti aku sudah menunggunya lebih dari 2 jam. Karena aku tidak boleh pulang diatas jam 8 malam, jadi aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya agar ia memperbolehkan aku memainkan ayunan itu, walau hanya sebentar saja.

“boleh gantian ga main ayunannya? Gue liatin dari tadi lu udah lama mainan ayunan ini. Gue kan juga mau. Gantian ya? Please” kata ku dengan nada memelas. Mungkin ia iba melihat raut wajah ku yang tampak lesu dan pucat, jadi ia mempersilahkan aku menggunakan ayunan itu.
“iya boleh. Nih” katanya sambil menyodorkan tali ayunan kepada ku. Dan kupikir ini mungkin waktu yang tepat untuk bisa menjalin pertemanan dengannya.
“makasih ya. Eh, boleh minta dorongin ga? Hihihi” kata ku sambil tersenyum menunjukkan deretan gigi putih ku.
“emang ga bisa main sendiri? Gue mau pulang, udah sore” jawabannya agak membuat ku sedikit sedih, tapi aku tidak ingin menyerah secepat itu.
“yaudah yaudah, kenalan dulu. Gue sunni”  kata ku sambil mengulurkan tangan.
“raka” katanya sambil membalas uluran tangan ku.
“yaudah sono pulang. Hahaha” kata ku mencairkan suasana.
“jih koplak” katanya dengan nada yang terdengar agak sedikit jengkel.

Yah, mungkin itu adalah salam pertemuan terburuk yang pernah ada. Tapi sejak hari itu, hidup ku tak seburuk hari-hari setelahnya.  Karena setelah hari itu, kami sering bertemu dan ngobrol berdua. Kami semakin akrab dan semakin dekat. Sampai-sampai Raka sering mengantarku pulang kerumah.
Suatu hari Raka mengajak ku ke taman agak sore. Seperti biasa, kami main ayunan. Raka mendorong aku yang sedang duduk di ayunan. Aku memejamkan mata, dan itu kebiasaan ku ketika bermain ayunan. Perlahan aku mulai merasakan keganjilan. Ayunannya semakin melemah, dan aku tidak lagi merasakan dorongan tangan Raka. Aku takut terjadi sesuatu, jadi aku membuka mata. Dan saat itulah aku benar-benar terkejut. Aku melihat Raka sudah berjongkok dihadapan ku.

“Sun, gue suka sama lu. Gue sayang sama lu. Gue ga tau sejak kapan perasaan ini muncul. Yang jelas ini serius. Gue ga pernah ngerasain yang kayak gini sama cewek lain”
“.......” aku hanya diam.
“Sun, lu mau kan jadi pacar gue?”
“.......” aku masih diam, sampai beberapa menit setelahnya pun, kami hanya saling pandang. Aku bingung harus berkata apa.
“sorry ya Sun, gue ga bermaksud bikin lu kaget. Gue minta maaf juga, gue ga bisa nembak cewek dengan cara yang romantis.  Gue...  gue baru kali ini nembak cewek Sun. Kalo lu ga terima gue gapapa kok” Raka menundukkan kepalanya dengan lesu. Dan aku geli melihat raut wajahnya yang seperti itu.
“huahahahahahahahahaha... komuk lu kaaa!! Hahaha” aku tertawa untuk mencairkan suasana.
“kok lu malah ketawa sih? Gue serius tau!” katanya dengan nada agak membentak. Dan aku hanya bisa diam lagi, kupikir aku salah bicara.

Tapi sedetik kemudian, aku memandangnya, dan berkata “iya. Gue mau jadi pacar lu” dan perasaan bahagia itu tak bisa di gambarkan lewat apapun. Kulihat Raka melompat-lompat kegirangan. Dan itu membuat ku tertawa geli melihat tingkahnya yang lucu, dan kemudian memelukku.
“makasih ya Sun, makasih banget udah mau jadi pacar gue. Dan lu yang pertama”
“iya. Lu juga yang pertama kok buat gue”

Dan sejak saat itu hari-hari ku menjadi lebih berwarna dan bahagia. Hubungan kami pun juga semakin baik. Tapi, tidak dengan penyakit ku. Penyakit ini semakin parah. Kanker ini sudah menjalar kebagian tubuh ku yang lain. Aku takut jika Raka mengetahui hal ini, ia akan meninggalkan ku. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku ingin sembuh! Aku ingin bersamanya dalam keadaan sehat. Jadi aku putuskan untuk fokus menjalani pengobatan. Dengan kata lain, untuk sementara waktu, aku meninggalkan kuliah, dan meninggalkan Raka, sampai aku sembuh.

Dihari pepisahan itu, aku tidak bisa menahan tangis ku karena akan berpisah dengannya sementara waktu. Aku berjanji kepadanya akan kembali untuknya, dan menemuinya di taman itu, di sebuah ayunan tua, tempat kita pertama kali bertemu. Dan aku menangis karena aku telah membohonginya. Aku katakan bahwa aku akan pindah ke Australia bersama orang tuaku. Aku tidak bisa berkata jujur. Maafkan aku Raka. Maafkan aku. Aku terpaksa melakukan ini. Dan perpisahan itu ditutup dengan pelukan terakhirnya darinya dimalam itu.

Pernah waktu itu Raka datang kerumah. Untung saja ia tidak pernah masuk kedalam rumah ku. hanya sebatas pekarangan rumah saja. Jadi ia tidak tahu siapa saja penghuni rumah ku. Jadi ku katakan kepada pembantu dan orang tua ku, agar mengatakan bahwa kami sudah pindah jika Raka datang dan menanyakan sesuatu tentang diri ku.

Usaha ku untuk sembuh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya, setelah 2 tahun aku menjalani kemoterapi dan perawatan intensif, aku masih belum bisa sembuh total. Tapi aku masih bisa bersyukur, karena rasa sakitnya sempat berkurang. Aku masih harus bersabar lagi untuk bisa merasakan bahagia yang sesungguhnya, seperti sebelum aku menderita penyakit ini. Dan aku ingin hidup bahagia bersama orang yang selama ini menjadi semangat ku bertahan hidup. Raka.

‘Ketika cinta ini setia...
Ia akan...kembali
Ketika cinta ini setia...
Ia akan...menyatukan dua hati yang terpisah
Ketika cinta ini setia...

Ia akan...memberikan rasa bahagia selamanya’

1 komentar: