'RAKA'
‘Jika cinta itu
setia...
Ia pasti... akan hadir
untuk menepati janjinya
Jika cinta itu
setia...
Ia pasti... tak kan
ragu datang meski segala rintangan menghadang
Jika cinta itu
setia...
Ia pasti... tak kan
berpaling’
Hanya suara nyaring jangkrik yang menemani ku malam ini,
melamun duduk di atas ayunan tua beralaskan papan. Sebenarnya aku tidak
melamun. Lebih tepatnya, aku hanya sedang menunggu seseorang datang menemuiku
disini. Tapi, entah kapan ia akan datang. Aku tidak tahu. Mungkin kalau ada
orang yang lewat taman ini setiap hari, orang itu akan menyebut ku orang gila.
Kenapa aku berpikir seperti itu? Karena aku duduk disini setiap hari. Dari jam
7 malam, sampai jam 10 malam. Tidak peduli saat itu sedang ada badai atau
hujan. Aku tetap datang kesini. Karena aku takut dia datang.
Ya. Perempuan itu adalah alasan kenapa aku melakukan ini
semua. Namanya Sunni. Aku bertemu dengannya 2 tahun yang lalu di taman ini.
Waktu itu aku masih mahasiswa semester satu disebuah perguruan tinggi swasta di
Jakarta. Pulang dari kampus, aku sempat kan untuk mampir ke taman ini hanya
untuk menenangkan hati ku yang sedang kacau karena perceraian kedua orang tua
ku. Dan saat itu aku frustasi karena aku jadi anak broken home.
Saat sedang asyiknya aku melamun di ayunan itu, tiba-tiba
ada seorang perempuan yang datang menghampiri ku dan berkata “boleh gantian ga
main ayunannya? Gue liatin dari tadi lu udah lama mainan ayunan ini. Gue kan
juga mau. Gantian ya? Please” dengan nada memelas dan tampang yang innocent,
membuat hati ku luluh.
“iya boleh. Nih” kata ku sambil menyerah kan ayunan itu
padanya.
“makasih ya. Eh, boleh minta dorongin ga? Hihihi” dia
tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih dan rapih miliknya.
“emang ga bisa main sendiri? Gue mau pulang, udah sore”
“yaudah yaudah, kenalan dulu. Gue sunni”
“raka” sambil membalas jabatan tangannya.
“yaudah sono pulang. Hahaha”
“jih koplak” kataku agak jengkel, dan akhirnya aku memilih
pulang.
Hari-hari berikutnya pun aku sering bertemu Sunni ditaman
ini. Dan akhirnya kita jadi semakin akrab. Dari ceritanya aku tahu, bahwa Sunni
sering sekali ke taman ini. Dia juga seorang mahasiswa baru di sebuah kampus
swasta di Jakarta. Hari demi hari, ku rasakan aku semakin akrab dengannya. Aku
sering mengantarnya pulang. Dan kita sering jalan-jalan. Dia setipe dengan ku.
Kami sama-sama tidak menyukai kebisingan dan keramaian. Semakin hari semakin
dekat. Sampai aku tak sadar akan jika aku menyukainya. Dan ku putuskan untuk
memberitahunya soal perasaan ku ini. Dan aku ingin dia menjadi pacar ku.
Hari itu aku mengajak Sunni ke taman, seperti biasa. Dia
duduk di ayunan, dan aku mendorongnya perlahan lahan. Setiap kali ayunan
menghempaskan tubuhnya ke atas, ia selalu memejamkan matanya. Ketika matanya
terpejam dan ayunan mulai melemah, aku buru-buru pindah ke hadapan Sunni, dan jongkok didepannya. Dan ketika Sunni membuka mata, kunyatakan perasaan
ku padanya.
“Sun, gue suka sama lu. Gue sayang sama lu. Gue ga tau sejak
kapan perasaan ini muncul. Yang jelas ini serius. Gue ga pernah ngerasain yang
kayak gini sama cewek lain”
“.......” dia hanya diam.
“Sun, lu mau kan jadi pacar gue?”
“.......” dia masih diam, sampai beberapa menit setelahnya
pun, kami hanya saling pandang.
Akhirnya ku beranikan diri memulai pembicaraan lagi “sorry
ya Sun, gue ga bermaksud bikin lu kaget. Gue minta maaf juga, gue ga bisa
nembak cewek dengan cara yang romantis.
Gue... gue baru kali ini nembak
cewek Sun. Kalo lu ga terima gue gapapa kok” aku menundukkan kepala ku, lesu.
Tiba-tiba ia tertawa “huahahahahahahahahaha... komuk lu
kaaa!! Hahaha”
“kok lu malah ketawa sih? Gue serius tau!” aku dengan nada
agak membentak. Dan Sunni diam lagi.
Tapi sedetik kemudian, wajahnya terlihat serius, dia
memandangi ku sangat serius, dan berkata “iya. Gue mau jadi pacar lu”
Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku melompat-lompat
kegirangan mendengar jawabannya. Dan langsung memeluknya setelah melakukan hal
bodoh itu.
“makasih ya Sun, makasih banget udah mau jadi pacar gue. Dan
lu yang pertama”
“iya. Lu juga yang pertama kok buat gue”
Dan hari itu menjadi hari yang tak pernah bisa ku lupakan,
hingga saat ini. Hari-hari ku menjadi lebih berwarna bersama Sunni. Dia tidak
pernah memperlakukan aku seperti anak broken home. Ia sangat menyenangkan,
ceria, dan aku mencintainya. Tidak terasa hubungan kami sudah satu bulan
berjalan. Sampai suatu hari, cuaca sedang tidak mendukung, gerimis mulai turun,
tapi ia bersikeras mengajak ku ke taman.
“ngapain sih ke sini? Kan ujan. Nanti kalo lu sakit gimana?”
kata ku, sedikit kesal dengan tingkahnya hari ini yang jadi agak pendiam.
“gapapa, gue ga akan sakit kok. Gue pengen bilang sesuatu”
“mau ngomong apa? Emang ga bisa di rumah atau besok gitu?”
“......” hening sejenak. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“lu sayang ka sama gue?”
“kenapa nanya kayak gitu sih? Udah jelas gue sayang banget
sama lu. Dan lu tau itu”
“berarti lu sanggup kan nunggu gue disini?”
“maksudnya?” tanya ku bingung.
“ortu gue ngajak pindah ke Australia. Besok. Dan gue ga tau
kapan gue bisa balik. Tapi gue janji bakal balik kesini buat lu. Lu sanggup
nunggu gue?” tangisnya mulai pecah. Aku sendiri pun masih tidak percaya dengan
ucapannya. Aku hanya bisa diam. Aku bingung. Bukan aku tidak mau menunggunya.
Tapi aku bingung, apa jadinya aku nanti bila tidak ada Sunni disisi ku? Tapi,
tidak bisa berbuat apa-apa. Malam itu kami lewat kan dalam keadaan diam,
sampai di depan gerbang rumah Sunni.
“raka. Tungguin gue pulang. Suatu saat nanti gue bakal balik
lagi kesini”
“iya. Tapi jangan lama-lama ya. Jangan nakal disana” aku
mengecup keningnya, dan kemudian memeluknya. Setelah itu, hidup ku terasa
hampa, tanpa bidadari penyemangat ku.
Sejak saat itu, aku selalu datang ke taman ini. Duduk di
atas sebuah ayunan tua yang mulai rapuh. Tidak peduli hujan badai sekali pun,
aku tetap datang ke sini. Aku takut, dia akan datang ketika aku tidak datang ke sini.
Maka dari itu, aku selalu datang ke taman ini. Menunggunya hadir, tanpa tahu
pasti kapan tibanya hari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar