Jumat, 04 April 2014

Dentingan Piano #1

Entah kenapa sore ini terasa berbeda dari sore-sore sebelumnya. Biasanya aku hanya menghabiskan waktu duduk di beranda apartemen sambil memandang langit sore hingga matahari terbenam, ditemani secangkir teh hijau kesukaan ku dan sedikit camilan. Aku tinggal bersama kakak perempuan ku di jakarta, disebuah apartemen di daerah jakarta pusat sejak aku SMA kelas 1. Saat ini aku bekerja sebagai penulis novel, dan lebih sering menghabiskan waktu dirumah. Dan begitulah kegiatan ku setiap sore. Tapi hari ini berbeda. Tidak biasanya aku ingin memainkan piano itu lagi, setidaknya sejak 5 tahun yang lalu saat umurku masih 17 tahun. Ku duduki bangku yang ada di depan piano, dan ku beranikan diri menyentuh tuts piano satu persatu. Do-Re-Mi-Fa-Sol... Ku hentikan menekan nada selanjutnya. Teringat kembali kejadian beberapa tahun silam. Masih terekam jelas di ingatan ku akan hal itu, kehilangan seseorang yang berharga untuk ku kala itu.......

Sore itu aku sedang berusaha menghafal lagu yang diberikan guru les ku. Dan ini sudah 2 minggu sejak ia menyuruh ku menghafalnya, tapi aku masih belum bisa hafal. Sesuatu yang tidak biasa, mengingat  ayah dan ibu ku bukan lah seorang musisi hebat dan mengharuskan aku bisa bermain piano. Aku les piano karena itu keinginan ku sendiri. Aku merasakan kedamaian ketika mendengar dentingan piano, mengalun lembut hingga membuat hati ini teduh. Jadi sebenarnya aku les hanya karena ingin sekedar bisa memainkan sebuah lagu dengan piano. Secara logika, seharusnya aku tidak perlu melanjutkan les piano lagi, toh.. kan aku sudah bisa. Tapi, ada seseorang di tempat les ini yang tak bisa aku tinggalkan.
“kamu udah bisa mainin lagu ini?” tanya bima sambil mengelus kepala ku
“belum, susah banget” kata ku dengan nada sedih.
“semangat ya, aku udah bisa loh” sahutnya  sambil tersenyum menggoda.
“ih, kamu kan wajar harus bisa bim, kalo aku kan sekedar pengen bisa main aja” kata ku agak jutek. Saat itu juga wajah bima langsung terlihat murung. Aku yang sadar akan bicara ku yang salah, buru-buru meminta maaf.

“maaf ya, aku ga bermaksud nyindir kamu kok, serius deh. Tapi aku bingung, kenapa sih kamu pengen banget aku bisa mainin lagu ini?”
Bima menatap mata ku dalam sekali, sampai aku tidak tahan dan menundukkan kepala,  aku bingung dengan sikapnya belakangan ini. Tapi ku beranikan diri menatapnya lagi. Dan betapa terkejutnya aku, mata bima berkaca-kaca, dan kemudian air matanya menetes.
“bima kamu kenapa? Aku bikin kamu marah ya? Maaf ya” kata ku bingung.
“selesai SMA aku mau lanjut kuliah di Paris.” Katanya pelan. Aku hanya bisa diam membisu mendengar ucapannya.
“kamu tau kenapa aku pengen banget kamu hafal lagu ini?”
Aku hanya bisa menggeleng lemah.
“lagu ini menggambarkan hubungan kita saat aku pergi ke paris nanti. Aku pengen kamu mainin lagu ini supaya kamu inget terus sama aku. Dan aku pengen kamu nungguin aku pulang” katanya sambil menahan tangisannya. Tanpa terasa, air mata ku pun ikut menetes.
“kamu kenapa baru bilang sekarang? Kenapa mendadak banget?”
“aku.. aku takut kamu marah sama aku. Aku takut kamu ninggalin aku. Ini semua juga bukan maunya aku. Mama aku yang nyuruh. Dia pengen aku jadi pianis hebat. Aku ga mau bikin dia sedih. Aku ga lama kok, aku cuma 5 tahun disana. Nanti aku balik lagi. Kamu tungguin aku ya” kata bima sambil memeluk ku. Dipeluknya membuat mataku semakin basah dan hati ini semakin perih. Cukup lama bima memelukku. Dan sampai akhirnya, hari itu adalah hari terakhir kami bertemu. Setelah pengumuman kelulusan, bima langsung berangkat ke paris, dan dia sempat mengirimiku sebuah pesan singkat yang isinya menyuruh ku untuk bersabar dan menunggunya pulang......

“kamu ngapain? Kok diem aja disitu?” suara kak nina membuat aku kembali kedunia nyata, meninggalkan memori penuh luka itu. Tak terasa pipi ini basah karena air mataku, yang entah sejak kapan menetesnya.
“tadinya aku mau main piano, tapi ga jadi”
“kenapa? Masih inget yang dulu?”
Aku diam tidak menjawab.
“kamu udah gede zi. Udah 22 tahun. udah saatnya kamu mikirin masa depan kamu. kalo kamu terus terusan liat kebelakang, kemasa lalu kamu, kapan kamu majunya?”
Aku terisak mendengar kata-kata ka nina. Ku peluk ka nina erat erat.
“jangan nangis lagi. Aku ga mau punya adik cengeng. Tenang aja, kalo kalian jodoh pasti bakal ketemu lagi kok. Ini tahun kelima, dia janji kan mau pulang? Tapi kalo setelah tahun ini dia belum menampakkan dirinya didepan kamu, kamu harus janji sama kakak, kamu bakal cari penggantinya. Dan kamu harus mainin piano ini lagi”
Kulepaskan pelukan ku, dan ku pandangi ka nina.
“kenapa? Ada yang salah sama ucapan ku? Ayo, mau janji ga?” katanya dengan nada yang agak memaksa. Aku hanya bisa tersenyum sambil menangis dan mengangguk pertanda bahwa aku menyetujui perjanjian itu.
“tapi kenapa kakak mau aku mainin piano ini lagi?” kata ku penasaran.

“karena dulu aku ngelesin kamu pake uang bukan pake daun. Jadi sayang kan, percuma kalo kamu udah les tapi ga mainin pianonya” katanya mencairkan suasana sambil memasang tampang cemberut memonyongkan bibirnya, membuat aku tidak bisa menahan tawa. Dan hari ini pun aku tidur dengan perasaan yang agak sedikit lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar