Rabu, 01 Januari 2014

Siluet Semu #3

Mungkin ini bisa jadi sesi terakhir cerita ini. tapi kalo ada request sih bisa dipikir ulang lagi hehe :b
Selamat membacaa :D


~ii~


Rabu

Pagi yang cerah. Ku langkahkan kaki ini dengan semangat dan keceriaan seperti biasa menuju kampus. Sepanjang perjalanan, aku membayangkan kejadian apa lagi yang akan terjadi hari ini, akan kah indah, atau malah sebaliknya.

Tapi, sejak pagi tadi hingga siang ini, aku belum melihat seseorang yang selalu ingin kulihat setiap hari. Bahkan aku tidak merasakan tanda-tanda kehadirannya. Sempat terpikir dibenak ini, bahwa ‘dia’ sedang terkena musibah. Tapi, ku tepis pikiran bodoh itu jauh-jauh dari pikiranku.

Sore menjelang, aku masih belum melihat batang hidungnya hari ini. Ada rasa kekecewaan, sedih, dan khawatir, semuanya menjadi satu. Tidak biasanya Dewa seperti ini. Yang ku tahu, Dewa bukanlah tipe pria yang suka menggunakan waktunya untuk hal yang tidak berguna, seperti membolos, karena hari ini ia memiliki jadwal kuliah yang padat.

Akhirnya aku pulang kerumah dengan perasaan hampa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa rindu yang belebihan ini, membuat kelopak mataku tak sanggup menahan beban air yang mulai keluar dari mataku. Air mata ini menetes dengan begitu lihainya melewati pipi ku. semakin lama kurasakan, air mata ini mengalir semakin deras. Ada apa dengan ku? perasaan apa ini? Padahal baru sehari aku tidak bertemu dengannya.

Lelah menangis meratapi hari ini, aku memilih untuk tidur. Mungkin saja ketika esok hari menjelang, semua ini hanya mimpi buruk semata.

---


Kamis

Doa ku semalam, berharap hari kemarin adalah mimpi buruk semata. Tapi ternyata, kemarin hanyalah pembukaan untuk hari ini. Ku pikir hari ini adalah hari terbaikku. Namun ternyata, inilah hari terburukku. Karena mimpi buruk sesungguhnya adalah hari ini. Baru saja aku sampai di kampus pagi ini, Via sahabatku, sudah memberiku kabar duka cita. Dan dia mengajakku untuk ikut melayat ke kediaman orang itu untuk memberikan penghormatan terakhir untuknya, setelah pulang kuliah nanti. Ku tanya siapa yang meninggal dunia, ia hanya menjawab “nanti kamu juga bakalan tau Na. pokoknya kamu harus ikut aku nanti kerumahnya. Kalo kamu ga ikut, aku takut kamu nyesel.”

Tidak puas dengan jawaban dari Via, aku bertanya lagi. Bukannya menjawab pertanyaanku, Via malah meninggalkan ku sendiri dengan kebingungan-kebingungan ini. Alhasil, selama perkuliahan berlangsung, aku tidak bisa konsentrasi mengikuti perkuliahan. Pikiran ku selalu menebak-nebak siapa sebenarnya yang meninggal dunia? Mengapa Via saat ingin aku ikut melayatnya? Apa aku mengenal orangnya? Apa dia orang terdekatku? Ah sudah lah, semua ini akan terungkap nanti setelah jam kuliah selesai.

Dengan cemas ku tunggu kehadiran Via di pendopo belakang gedung, kulihat sekitarku. Ada yang aneh hari ini. Apa? Tentu saja. Biasanya pendopo ramai oleh para mahasiswa yang datang bergerombol. Tapi hari ini, semua itu seperti binasa. Tak terlihat ada tanda-tanda keramaian disini. Dan keadaan ini membuat ku semakin bingung. Ada apa ini sebenarnya? Tak lama, kulihat seseorang menghampiri diriku. Orang yang membuat aku tidak bisa fokus hari ini. Ya, Via. Tapi, Via tidak datang sendirian. Dia bersama dengan teman-teman ku yang lain, bahkan ada beberapa senior yang ku tahu kalau mereka adalah teman Dewa, mereka juga sedikit akrab dengan ku.

Aneh, tatapan mereka semua seperti tatapan orang yang kehilangan sesuatu. Aku pun menyapa Via “Kok lama bangt sih Vi? Kenapa? Kita pergi melayatnya bareng-bareng ya?”  tanya ku sambil tersenyum menutupi kebingungan ku.

“Iya Na, kita melayatnya bareng-bareng. Tapi janji ya jangan bikin ulah disana. Jangan heboh juga ya Na. Bisa janji kan sama aku?” kata Via dengan senyuman yang menyiratkan kesedihan.
Aku agak heran dengan kata-katanya, tapi aku tidak ingin mengecewakan Via, ku jawab “Iya lah Vi. Masa ada orang meninggal aku bikin heboh sih? Terus kapan kita kesananya?”
“Sekarang Na, kamu di boncengin sama ka Yogi ya, aku sama ka Nanda.”
“Loh? Aku kan bawa motor sendiri Vi.”
“Ngga usah Na, motor kamu tinggalin di kampus aja. Tadi aku udah bilang sama satpam kok Na.”
“Oh gitu. Yaudah deh. Hai ka Yogi” ku sapa ka Yogi, senior yang akan pergi dengan ku itu, dank u lemparkan senyum simpul.
“Hai Nana.” Katanya, sambil membalas senyum ku.
Akhirnya kami berangkat melayat menggunakan motor, seperti konvoi. Ternyata tidak hanya kami yang melayat. Didepan kampus, sudah ada 8 motor lagi yang menunggu kehadiran kami. Dan mereka semua adalah teman-teman Dewa. Tapi aku bingung, kenapa Dewa tidak ada?

Kami semua tiba di kediaman almarhum. Ramai sekali, tapi rata-rata yang melayat masih seumuran dengan kami. Dan semua ini membuat ku semakin bingung. Siapa sebenarnya yang meninggl dunia? Ku ikuti gerombolan ku menuju tempat dimana jenazah itu dibaringkan. Ka Yogi memegang tangan ku, menarik ku agar aku bersebelahan dengannya, dan Via berada disamping kiri ku. jadilah aku berada di antara Ka Yogi dan Via. Kami duduk disamping jenazah. Ka Yogi mulai membuka kain putih bermotif tulisan arab, yang menutupi wajah jenazah itu. Terdengar isakan tangis Via. Perlahan namun pasti, terlihat lah wajah jenazah tersebut.

Seperti dihantam palu bertubi-tubi. Kurasakan berat dikepala ku. Tak bisa ku bendung lagi air mata ini, mengalir dengan deras dalam sekejap, dan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu yang singkat. Mulai kurasakan buram mata ini, semakin lama pandangan ku semakin kabur, semakin putih, sampai akhirnya tak kulihat apapun. Seketika tubuh ini terasa seperti tidak bertulang. Semua gelap. Bahkan aku tak bisa mendengar suara orang-orang yang ada disekitarku. Sepi, sunyi. Semakin lama semakin sesak dada ini. Aku merasa sendiri. Kemana orang-orang? Kemana Via dan ka Yogi? Kemana teman-teman yang lain?

Tapi lama kelamaan, ruang gelap yang tiada batasnya itu, perlahan-lahan berubah menjadi ruangan putih, semakin putih. Hingga mata ini tak kuat lagi melihat sinar itu. Perlahan-lahan sinar itu mulai pudar. Mataku pun perlahan-lahan terbuka. Kulihat sebuah lampu. Ruangan ini terasa asing bagi ku. Dimana ini? Dimana aku sekarang? Ku layangkan pandangan ku keseluruh penjuru ruangan. Terlihat seperti sebuah kamar seseorang. Tapi kamar siapa ini? Tentu ini bukan kamar ku. Ini seperti kamar laki-laki.
“Kamu udah sadar Na?”
Terdengar sebuah suara yang memecah kebingungan ku. Ternyata itu suara Via.
“Ini kamar siapa Vi?” tanya ku.
“Ini kamar Ka Dewa Na” kata Via dengan nada suara yang terdengar agak bergetar.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku mulai ingat. Ternyata tadi aku pingsan setelah melihat jenazah seseorang. Ya. Itu jenazah Dewa. Seseorang yang entah sejak kapan telah menjadi orang yang paling berharga dalam hidup ku, kini tubuhnya terbujur kaku didepan mataku. Ku pikir semua itu benar-benar hanya sebuah mimpi  buruk. Tapi ternyata… semua ini nyata.

Via mulai menceritakan kronologi yang sesungguhnya. Semuanya. Semua tentang hal yang aku tidak tahu. Bahkan aku tidak tahu kalau semua orang tahu bahwa aku menyukai Dewa. Dari mana mereka tahu? Aku tidak pernah menceritakannya pada siapapun. Via bilang, tanpa aku ungkapkan pun, perasaan suka ku terhadap Dewa sudah terlihat dari cara aku memandangnya. Ternyata semudah itu orang membaca gerak gerik ku. aku tak sadar akan hal itu. Itulah bodohnya aku. Via juga mengatakan, bahwa sebenarnya Dewa sudah tahu tentang perasaan ku padanya.

Air mata ini kembali mengalir setelah mendengar cerita Via. Bahkan aku tak mendengarkan cerita Via lagi setelah aku tahu kalau Dewa mengetahui hal itu. Terakhir kalimat Via yang masih bisa dicerna oleh otak ku adalah nasihatnya. Ia mengatakan, bahwa aku harus menjadi wanita yang kuat, aku tidak boleh lemah, masa depanku masih panjang, bahkan ini baru dimulai.

Aku sadar, bahwa aku bukan siapa-siapa di kehidupan Dewa. Tapi, apakah salah jika aku menyayanginya? Kalau aku boleh memilih dengan siapa aku jatuh cinta, aku pasti tidak akan memilihnya. Masih banyak pria yang lebih tampan, baik, dan lebih mapan daripada Dewa. Tapi kenapa aku memilihnya? Bukan. Bukan aku yang memilihnya. Tapi hati ini yang memilihnya.
"Yang ku tahu, cinta sejati tak akan pernah salah, meski kau hanya sebuah siluet semu belaka..."


created by : Istyqomah Indriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar